10. Ties Familiaris ☕

314 56 20
                                    

♥Happy-Reading♥

–Blood relationship

.

.

.

Hampir dua minggu sejak peristiwa percobaan bunuh diri yang dilakukan Dandy dan suasana di fakultas kembali seperti sedia kala. Terkecuali Dandy yang belum bisa melanjutkan kuliahnya. Dandy saat ini kabarnya tengah menjalani terapi rawat jalan. Chelia dan kawan-kawan beberapa kali mencoba menjenguk, namun keluarga Dandy terkesan tertutup dan mereka cukup tahu diri untuk tidak mengusik kehidupan pribadi orang lain.

Yang membuat Chelia bersyukur adalah kejadian kemarin itu tidak memakan korban jiwa. Dandy masih diberi kesempatan melanjutkan hidup dan terhindari dari dosa besar yang bisa membuatnya kekal abadi di neraka. Chelia berharap, meski tidak dalam waktu dekat, Dandy bisa mengungkap kebenaran dan bertanggungjawab.

Rean pun sudah pulih, bahkan hari ini mengambil izin untuk menghadiri technical meeting turnamen bela diri tingkat nasional. Mengingat kejadian saat membantu Rean mengganti perban di hari itu membuat pipi Chelia kembali memanas. Beruntung Rean yang tidak banyak bicara tidak pernah mengungkit kejadian tersebut sehingga ia tidak harus terus-terusan salah tingkah.

Chelia memandangi semak belukar yang sesekali menampakkan nisan-nisan artistik di kejauhan dari balik jendela mobil Rama. Sudah menjadi kebiasaan bagi teman-temannya sedari dulu untuk saling mengantar-jemput. Edward berangkat dan pulang kampus bersama Erva. Rean bertugas menjemput Chelia di pagi hari, sedang Rama yang mengantarnya pulang.

Di pagi hari yang ramai kendaraan, agar terhindar dari kemacetan, rute tercepat yang bisa dilalui dari rumah Chelia adalah kawasan Perkuburan Cina yang sepi dan Rama tidak ingin melintas di sana tanpa jimat kuning penangkal Vampire. Namun berhubung Rean sedang absen, kali ini Rama harus melawan rasa takutnya.

Chelia menoleh pada Rama yang menekan tombol switch pada car stereo dan mengganti lagu Girls Like You--Maroon menjadi lantunan ayat suci saat memasuki kawasan perkuburan Tionghoa. Chelia tahu Rama sangat gentar melewati jalur alternatif tersebut, namun tetap saja berkeras menjemputnya. Padahal ada Riva yang pagi itu siap mengantar.

Rama berkutat dengan pikirannya sendiri. "Kira-kira makhluk astral di sini mengerti bahasa arab, nggak ya? Mana aku nggak dapat jimat orang Cina lagi!"

"Kenapa, Rama?" Chelia bertanya pada Rama yang menghentakkan kepala.

"Nggak apa-apa, Sweetheart," jawab Rama berusaha tersenyum.

"Besok-besok kalau Rean tidak sempat, aku diantar Kak Riva saja. Nggak apa-apa kok."

Rama menggeleng kuat. "Kak Riva itu sibuk, kasihan kalau kerjaannya terganggu."

"Kalau begitu aku naik angkutan umum saja, pesan taksi online juga bisa."

"Tidak boleh. Tidak bisa. No way, Sweetheart. Selama masih ada aku, Edward, dan Rean, kamu tidak boleh bepergian diantar orang yang tidak dikenal. Bahaya! Nanti kamu diculik terus dijual ke pasar pelelangan organ tubuh!"

Chelia bergidik sendiri mendengarnya.

"Aku nggak bermaksud buat kamu takut, tapi di dunia ini nggak banyak orang yang bisa dipercaya." Rama berujar serius, matanya kemudian membulat melihat Chelia mengangkat sebuah sepatu di bawah kakinya.

"Ini ... punya siapa?" Chelia menilik sepatu sepatu yang familiar di ingatannya.

"Ah, itu ... sepatu yang aku pakai kemarin. Waktu main futsal aku ganti, ternyata ketinggalan di sini."

Prescriptio☕  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang