Semua terjadi dalam sekejap mata.
Kehilangan kedua orang tuanya,
diharuskan untuk menikah di saat usianya belum genap 18 tahun,
dan terpaksa merasakan cinta yang ternyata hanya membawa derita bernama patah hati.
Jihoon melalui itu semua tanpa tahu r...
Butiran debu yang bertebaran dan menutupi barang-barang di dalam sana ia bersihkan hingga tuntas, menggunakan sapu tangan berwarna pastel yang selalu ia bawa kemana-mana. Namja manis itu meringis dan menggumamkan maaf berkali-kali ketika melakukan kegiatan tersebut.
Rasa bersalah memenuhi Jihoon karena dirinya sangat sibuk akhir-akhir ini, sehingga hampir tidak memiliki waktu untuk mengunjungi rumah abu guna menyapa kedua orang tuanya. Ada banyak hal yang harus Jihoon lakukan, terutama sejak ia menandatangani kontrak dengan sebuah agensi ternama untuk menjadi seorang produser lagu disana.
Benda terakhir yang ia bersihkan tak lain dan tak bukan merupakan potret yang selalu ia pandang ketika mengunjungi tempat itu.
Sudut bibir Jihoon terangkat membentuk senyuman begitu melihat sosok-sosok dua dimensi di dalam sana yang juga tersenyum seperti dirinya.
"Appa.. Eomma.. Sudah lama sekali bukan?"
Jemari Jihoon mengelus permukaan itu dengan sayang. Betapa perasaan rindu memenuhi relung hatinya sekarang, mengingat 5 tahun telah berlalu sejak peristiwa itu terjadi.
"Kalian.. beristirahat dengan tenang bukan?"
Jihoon bergumam lagi kemudian, "Ah ahni.. Aku melakukannya dengan sangat baik, Eomma-Appa pasti tidak dapat beristirahat dengan tenang karena terlalu bangga melihatku" Tawa kecil Jihoon menggema di ruangan itu setelahnya, ah benar-benar.. Sepertinya kepercayaan diri Soonyoung yang berlebihan telah menular padanya.
"Ppa!"
Jihoon yang baru saja menutup kembali pintu kaca--setelah menyimpan barang yang ia ambil dari sana--menoleh ke arah sumber suara dan tersenyum manis. Lengkung indah itu tercipta begitu saja ketika maniknya menemukan sang buah hati berada dalam gendongan Soonyoung yang tengah mendekat ke arahnya.
"Ppa" Tangan-tangan mungilnya menggapai lucu ke arah sosok yang ia panggil 'Ppa' itu.
Soonyoung mengecup kening Jihoon sekilas sebelum memindahkan bayi yang belum genap berusia setahun itu ke pelukan Jihoon. "Ia terbangun dan menangis keras begitu tahu kau tidak ada" Bibir Soonyoung mengerucut kesal saat mengucapkan hal itu.
Bagaimana tidak? Kwon Jinyoung.. putra mereka, darah dagingnya juga, yang bahkan bentukannya sangat mirip dengan Soonyoung itu bersikap seolah-olah hanya Jihoon-seorang- dunianya. Ia menangis jika tidak ada Jihoon, hanya akan tidur jika di peluk oleh Jihoon, hanya mau minum susu jika bersama Jihoon. Bahkan kata pertama dan satu-satunya hal yang bisa ia sebut untuk saat ini adalah 'Appa', yaitu panggilan untuk Jihoon.
Apa-apa Jihoon, semuanya Jihoon.
Begitu pula sebaliknya, sekarang kasih dan sayang Jihoon tercurah sepenuhnya pada monster kecil itu.. Ia akan melepas pelukan dan-bahkan -pagutan Soonyoung begitu saja jika tangis bayi itu terdengar. Ia tega mengabaikan Soonyoung yang padahal juga menginginkan dan membutuhkan belaian seperti yang selalu diterima Jinyoung.. Kehadirannya seolah kasat mata jika mereka, kedua bayi itu sudah bersama. Soonyoung benar-benar merasa seperti di campakkan..
"Abeonimm, Eomonim, lama tak jumpa"
Mengabaikan tatapan geli Jihoon yang kini tengah berusaha menidurkan kembali bayi mereka, Soonyoung memilih untuk berbincang dengan potret mertuanya.
Banyak hal yang pria itu ocehkan hingga Jihoon tak mampu menahan tawa begitu mendengarnya. Yah.. intinya Soonyoung melayangkan protesnya karena dua sosok yang sangat ia cintai itu sibuk satu sama lain dan mengabaikannya.
Setelah Jinyoung terlelap di gendongannya, Jihoon mendekat dan mengecup pipi Soonyoung yang kini sudah beralih memainkan ponselnya. Jari-jari itu berhenti menari di layar ponsel dan pemiliknya-yang kaget-segera menoleh ke arah Jihoon. "Jangan cemberut terus, Daddy-nya Jinyoung"
Pria dewasa itu menggeleng, masih dengan muka masam. Tidak peduli sedikit pun akan fakta bahwa dirinya sudah berusia 37 tahun sekarang.
"Beri dulu satu lagi disini"
Telunjuk Soonyoung mengarah ke bibirnya. Dan dengan pipi merona merah.. Jihoon berjinjit untuk mendaratkan kecupan lain di bibir Soonyoung. Syukurlah, senyum pria itu segera terbit. Ia kemudian merangkul tubuh Jihoon, mengajak sosok mungil itu beranjak dari sana karena kunjungan tersebut dirasa cukup.
Jihoon sempat menoleh ke arah belakang, menatap kembali penyimpanan abu orang tuanya sebelum mereka meninggalkan tempat itu.
Appa.. Terimakasih telah mempercayakanku pada Soonyoung. Dia adalah anugerah terindah setelah Appa dan Eomma. Dan aku sangat mencintainya.
Eomma.. Ternyata menjadi orang tua itu sungguh luar biasa perjuangannya.. Terimakasih telah membawaku dengan selamat ke dunia. Aku mencintai kalian berdua.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.