"Anna, aku tidak akan lama lagi ada di dunia ini."
Paman Dong Wook sudah mengulang kalimat yang sama sebanyak lima puluh kali hari ini. Membuat Anna sangat terpukul tanpa bisa meluapkan emosinya pada seorang pun sebab dia hanya hidup berdua bersama pamannya. Kalau Paman Dong Wook tiada, jadilah Yoona hidup sebatang kara.
Hidupnya sudah susah semenak kedua orang tuanya pergi semasa kuliah. Entah pada siapa Yoona akan bersandar jika Paman Dong Wook meninggalkannya juga.
"Aku tidak mau dengar kalimat itu lagi, Paman. Kau tidak akan meninggalkanku sendirian." kata Yoona dengan bahu yang merosot.
"Setidaknya aku bersyukur Ayahmu menitipkan asuransi pendidikan yang dia beli puluhan tahun lalu. Mungkin sudah menduga nasibmu akan seperti ini jadinya."
Yoona merengut. Bukannya Paman Dong Wook selalu baik. Pria itu pernah memukulinya berulang kali karena dipanggil oleh universitas akibat ulah Yoona yang terlibat perkelahian secara fisik bersama teman-temannya. Atau lain waktu, Yoona hanya diberikan jatah makan sekali sehari selama satu bulan karena gagal mendapat beasiswa pada semester ketiga. Alhasil wanita itu harus membanting tulang bekerja shift sebagai kasir disebuah supermarket dekat tempat tinggalnya.
Tapi itu sudah lama terjadi. Yoona yang berbesar hati tak pernah memikirkan hal itu lagi. Keluarga adalah tetap keluarga. Baginya, tak ada yang bisa menggantikan titel tersebut meski Paman Dong Wook bersalah padanya.
"Apa kau sering bersedih karena kita selama ini hidup kekurangan?"
Yoona menggeleng kuat-kuat, "tidak! Aku baik-baik saja! Tolong jangan punya pikiran seperti itu."
"Aku seharusnya jadi pria yang bisa menggantikan Ayahmu Yoong. Maaf.." suara Paman Dong Wook berubah parau dengan cepat dan membuat suasana semakin mengharu-biru, "maaf, sungguh.."
Tak kuasa Yoona melihatnya. Air mata sudah membasahi pipi manakala Paman Dong Wook membawa kedua tangan mungilnya didepan dada. Bunyi alat pendeteksi jantung terdengar semakin keras didekat ranjang, menambah waspada situasi yang memang sudah mencekam. Rasa-rasanya baru kemarin mereka saling bersitegang masalah pekerjaan yang harus diambil oleh Yoona. Paman Dong Wook mengekangnya dan berencana mengirimnya ke Seoul.
Yoona tidak ingin hidup disana sendirian.
"Ayahmu meninggalkan warisan sebuah perusahaan yang besarnya menyamai tiga perusahaan besar di Seoul. Kurasa cepat atau lambat kita harus bicara mengenai hal ini."
Nampaknya ada sesuatu yang tidak beres terbaca oleh Yoona. Dia lantas menyipitkan mata dan bersikap siaga.
"Sebenarnya Nair Coorp milikmu. Hanya saja, seseorang merebutnya."
Berita itu tentu saja terdengar sangat konyol dikedua rungu sang keponakan.
"Kau berbohong bukan?" tanya Yoona pelan-pelan, mencoba tidak terbawa suasana, "Nair Coorp adalah raksasa di bidang senjata api. Aku tahu bisnis Ayah merajalela, tapi untuk yang sa—"
"Aku bersikeras mengirimmu ke Seoul karena ada Taehyung disana. Anak itu akan membantumu masuk kedalam Nair Coorp. Harapanku, setidaknya kau bisa bekerja disana kalaupun tidak dapat memilikinya."
"Sebentar. Paman, aku butuh penjelasan, tidakkah menurutmu ini lucu? Taehyung tahu sesuatu? Apa hanya aku yang tidak tahu apa-apa disini?" tanya Yoona diselingi tawa. Mendadak jantungnya berpacu dengan kencang dan pandangannya memburam. Air mata sudah berkumpul lagi dikelopaknya tapi Paman Dong Wook tidak menyadari itu.
Dada pria tua itu terasa sangat sesak sekarang. Bahkan sepatah katapun tak mampu keluar dari mulutnya dan tangannya menggapai-gapai udara. Yoona dengan sigap menangkapnya. Dia berteriak histeris memanggil-manggil dokter sebab kondisi Paman Dong Wook semakin menurun.
KAMU SEDANG MEMBACA
CEO Nair Coorp. | Kim Namjoon x Im Yoona
FanfictionHarum tubuhnya mendefinisikan kekayaan dan kekuasaan sekaligus. Yoona-hampir saja jatuh hati kalau tidak ingat bahwa pria itu adalah CEO di Nair Coorps. Perusahaan dimana seharusnya Yoona-lah yang menjadi ahli warisnya. "Apa kau akan berdiri disitu...