Tragedi di Rumah Sakit (2)

7K 265 18
                                    

Sesampainya di rumah sakit, aku tergesa menuju loket pendaftaran dan bertabrakan dengan seorang laki-laki. Kopi panas yang ia pegang tumpah ke sekitar pinggang dan pahaku. Seketika panas dan perih menjalar di sekitar area itu. Aku memekik seraya mengibas-ngibaskan tangan. 

Laki-laki yang menabrakku juga tampak panik, kata maaf berkali-kali meluncur dari bibirnya yang berhias kumis tipis. Tangannya terulur beberapa kali hendak menyentuh, tapi urung. Ragu kurasa.

“Saya gak pa-pa, Mas,” kataku setelah rasa panas yang menjalar mereda. 

“Tapi, Mbak.” Ia gelagapan. “Duh, maafin saya beneran.” Rautnya tampak jelas memperlihatkan rasa bersalah.

“Iya, gak pa-pa, Mas.” Aku langsung berlalu kali ini, tak enak melihat raut wajahnya karena ini murni kecelakaan yang aku juga ikut serta bersalah. Selain itu aku tergesa, berkas Mamah harus segera masuk ke loket pendaftaran. 

Setelah mendaftar dan memasukan berkas ke bagian hermodialisa, aku ke kamar mandi. Gamis yang semula berwarna hijau terang kini jadi tampak tidak karuan di bagian pinggang hingga ke paha, bercampur noda hitam kopi. 

Mamah pasti tidak akan suka melihat ini. Ia kerap mengkritik penampilanku yang menurutnya kampungan. Apalagi sekarang, pakaianku sudah seperti lap. Dan benar saja, saat kutemui beliau di lobby tatapan matanya langsung menghujam. 

“Apa-apaan ini, Ai?” tanyanya terpana.

“Tadi Ai tabrakan sama orang, Mah. Dia bawa kopi dan tumpah ke baju Ai,” terangku pasrah.

“Ai, Ai ….” Mamah menggeleng, lalu berjalan beberapa langkah di depanku yang segera menyeimbangkan diri di sampingnya.

“Kopinya panas tadi?” Mamah menghentikan langkah menatapku. Tersirat sedikit rasa khawatir di sorot matanya.

“Iya, Mah. Ai gak pa-pa, kok.” Kusunggingkan seulas senyum.

“Lain kali hati-hati kalo jalan makanya.” Mamah mendesah lemah sebelum kembali mengambil langkah.

Tidak peduli seberapa benci Mamah padaku, juga seberapa tajam lidahnya, ia tetap saja seorang mertua yang khawatir jika menantunya terluka. Bahkan jika diingat, beliau pulalah orang yang paling sibuk setiap kali aku melahirkan, atau memberi solusi kala Mas Danar terbelit masalah. Beliau sosok yang tak segan membantu, hanya saja mudah emosi sampai mengeluarkan kata-kata yang teramat menyakitkan.

Kami duduk di kursi deret ruangan hermodialisa. Kebetulan tadi aku mendapat nomor antrian awal karena datang lebih cepat, sehingga Mamah dipanggil hanya beberapa saat setelah menunggu.

“Kamu tunggu di mushola aja, Ai, biar bisa tiduran. Nanti Mamah telfon kalo ada apa-apa.” Mamah berpesan sebelum masuk ke ruangan. Aku hanya mengangguk.

Proses cuci darah biasanya menghabiskan waktu tiga sampai empat jam, tergantung pada kondisi Mamah. Dan selama itu aku menunggu di luar, hanya sesekali saja mengecek ke dalam.

Kuambil ponsel dari dalam tas, kemudian melihat barangkali Mas Danar mengabari kalau dirinya sudah mengirim uang. Tidak ada. Sebuah chat menanyakan hal itu kukirim padanya, dibarengi keluhan tentang kebutuhan anak-anak juga ibunya. Tak lama berselang ia membalas.

Mas usahakan, Ai. Mas gak mungkin pergi tanpa ninggalin uang kan? Pernah memang?

Aku menghela napas. Mas Danar memang tidak pernah melakukan hal itu. Meski sudah sekitar empat bulan keuangan sedikit sulit, ia tidak pernah sampai lalai. Salah satu alasan yang membuatku masih menguatkan diri mengarungi bahtera rumah tangga dengannya, ia sosok ayah yang bertanggungjawab. Namun, mengingat bon-bon belanjaan, juga ke mana ia pergi sekarang, aku benar-benar dilanda resah. 

Pecandu SyahwatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang