Danar Rahadian (1)

5.2K 361 55
                                    

Kelopak mataku terasa sangat berat hingga butuh waktu beberapa detik untuk membukanya. Kilau keemasan sinar mentari yang menelusup melalui celah jendela, kemudian memantul di kaca meja rias menyilaukan mataku saat mampu sedikit terbuka. Tunggu … pandangan ini langsung tertuju pada jarum-jarum jam di dinding yang telah menunjukan hampir jam delapan. Jam delapan!

Aku terperanjat, menyingkap selimut, kemudian bangkit berusaha tidak mempedulikan kepala yang terasa berat, juga persendian yang linu. Bagaimana bisa tidak seorang pun membangunkanku?

Suasana rumah hening, aku melangkah ke ruang tengah dan mendapati Maya sedang duduk di sofa sambil membenahi riasan, mungkin bersiap bekerja. Ia mendelik ketus saat tatapan kami beradu, membuatku mempercepat langkah menuju teras. Motor Ara dan Angga sudah tidak ada di halaman, begitu juga dengan sepeda Fahmi, akan tetapi mobil Mas Danar masih terparkir. Apa ia tidak bekerja?

Pertanyaan itu segera terjawab saat langkah membawaku ke dapur. Samar terdengar Mas Danar seperti sedang berbincang. Hati-hati aku mendekat, dan melihatnya sedang bercakap melalui ponsel di salah satu pojok dapur. Aku lekas berbalik dan bersembunyi di balik pintu, mencoba menangkap suaranya, tapi terlalu pelan. 

“Sadar!” Intonasinya naik. Sedikit membentak tapi tertahan. Namun, aku bisa mendengar dengan cukup jelas. “Saya ini punya anak istri! Kam—” Kata-kata Mas Danar terjeda. Barangkali terpotong lawan bicaranya di seberang sana. 

Aku mengatur napas merasakan ketegangan seperti menjalar ke seluruh tubuh, hingga dada ini bertalu-talu. Aku mencoba tenang demi menajamkan pendengaran.

“Jangan ngelunjak!” Kali ini Mas Danar benar-benar membentak. “Uang kamu habis bukan salah saya. Kamu yang mau liburan dan beli barang-barang gak penting itu. Kenapa sekarang kamu salahin saya?” Terdengar suara kursi digeser. Mungkin ia duduk sekarang. Aku sedikit beringsut, jaga-jaga jika ia mendekat atau malah ke mari. 

“Lucu!” Suamiku terkekeh. “Yang harusnya marah sekar—” Terjeda. “Diem! Denger! Yang harusnya marah itu saya! Kamu banting handphone saya, sampe berita kematian ponakan say—” Ia mendengkus kasar, disusul suara kursi bergeser, dan diakhiri hentakan yang cukup kencang. Aku beringsut lagi, bersembunyi di samping rak yang ada di belakang pintu.

“Udahlah! Terserah!” Sepertinya selesai. Sesaat ia meracau tak jelas, kemudian hening.

Aku menahan napas, lalu bergegas kembali ke kamar. Jantung ini rasanya berdetak tak karu-karuan. Saat sampai di kamar kebingungan merasuki, potongan kalimat-kalimat Mas Danar terus berputar di kepalaku. Entah apa maksud dari semua itu.

Jelas sekali Mas Danar mengatakan dirinya telah memiliki anak istri, juga bon belanjaan dan liburan itu yang kemungkinan tidak menggunakan uang suamiku. Setidaknya itulah yang kutangkap dari kalimat Mas Danar. Ini benar-benar membingungkan.

Suara langkah mendekat membuatku terhenyak. Tidak ingin Mas Danar curiga, aku kembali naik ke ranjang dan menyelimuti diri. 

“Dah bangun, Ai?” tanyanya sesaat setelah masuk dan kami bersitatap.

“Kenapa gak bangunin Ai, Mas?” tanyaku dengan suara pelan, berakting seolah-olah baru saja terbangun.

“Subuh tadi kamu demam.” Ia menghampiri, lalu meraba kening dan leherku. “Mas gak tega bangunin.”

“Tapi ….”

“Udah. Kerjaan rumah dah diberesin anak-anak,” pungkasnya. Aku mengangguk. “Sana ke kamar mandi.” Hati-hati ia membantuku bangkit. “Kuat, gak?” 

“Ai bisa sendiri, Mas, kaya sakit apa aja,” protesku lemah. Ia menyeringai konyol. 

Kemarahan dan rasa kesal yang tersirat dari nada bicara Mas Danar saat di dapur tidak tersisa sedikitpun sekarang. Hampir dua puluh tahun bersanding dengannya, tidak sekalipun ia pernah bicara keras apalagi membentakku seperti yang dilakukannya tadi, pada entah siapa. Sosoknya yang tegas akan tetapi tidak otoriter, selalu memperlakukan diri ini dengan baik, atau mungkin juga karena aku memang jarang sekali membantah mau pun menuntut. Karena tidak jarang juga kulihat ia memarahi anak-anak, meski tidak benar-benar sampai seperti tadi.

Pecandu SyahwatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang