Inara 1

4.5K 270 18
                                    

Tidak seperti saat kuseret paksa dari kamar bibinya tadi, Ara kini duduk membisu di tepian ranjang kamarku. Si sulung enggan menatap ibunya ini, dan lebih memilih menatap lantai nyaris tak berkedip. Ia memainkan jemari, sesekali mendengkus dan berpaling sembarang, tampak sangat gusar. Barangkali takut aku marah, atau masih memendam kekesalan pada sang bibi.

“Kamu nampar Tantemu, Ra?” tanyaku hati-hati. Ia bergeming. “Ra ….”

“Aku kesel, Bu,” jawabnya cepat kali ini, “Liat!” Kemudian menunjuk pipiku, juga punggung tanganku yang berdarah. Barangkali tergores pecahan piring tadi, entahlah aku tidak menyadarinya.

“Ibu ngerti, tapi jangan diulangi, ya?” pintaku halus seraya mengelus pundaknya. Ia mengangguk, kemudian menatapku. Kelopak matanya basah, sepersekian detik kemudian ia menjatuhkan diri ke dadaku. 

“Rumah ini tuh, jadi berisik semenjak Tante pindah ke sini. Aku capek liat Ibu dimarah-marahin, disuruh-suruh, padahal salah Ibu apa, coba?” Ia tergugu meluapkan kekesalan hingga gemetar dari sekujur tubuhnya kurasakan.

Bukan tak ingin mengerti rasa lelah dan bosan Ara atas sikap tantenya, karena aku pun merasakan hal yang sama. Selama hampir dua tahun kepindahan Maya ke rumah ini, selama itu pula ketenangan tempat kami bernaung ini terenggut. Nyaris setiap hari diisi oleh teriakkan, cacian, dan pertengkaran. Jarang sekali ada hari yang bisa dilewati dengan tenang dan damai. Namun,  aku tidak bisa membenarkan tindakan Ara tadi. Selain karena Maya adalah bibi yang harus dihormatinya, menampar dan berteriak bukanlah tindakan terpuji.

“Jadi kamu boleh nampar tantemu, gitu?” Aku menangkup wajah Ara, lalu tersenyum. 

“Tapi, Bu ….” Nanar ia balas menatapku.

“Kalo kamu ngeliat hal jelek di sekitarmu, Ra, cukup jadiin pelajaran untuk gak kamu tiru. Bukan malah ngelakuin hal yang sama. Kesalahan yang sama. Ibu kecewa.” 

“Maafin aku, Bu.” Si sulung kembali menjatuhkan diri dalam dekapanku, kemudian tergugu hingga kedua bahunya berguncang. Segera kuelus punggungnya. 

“Tapi ibu juga bahagia. Kamu marah gitu pasti karena saking sayangnya sama ibu, kan?” Ara mengangkat wajahnya, kemudian mengangguk. Aku tersenyum. “Lain kali belainnya gak boleh kaya gitu, ya?” 

“Iya, Bu.”

“Janji?”

“Aku janji, Bu.”

Sebagai sulung dari dua adik laki-laki, Ara terkadang terlihat terbebani, karena tidak punya tempat berbagi selain diriku. Meski tiga buah hatiku cukup dekat selayaknya saudara, akan tetapi Angga dan Fahmi punya dunianya sendiri. 

Dulu, ia dekat sekali dengan Mas Danar, nyaris segala hal dibaginya dengan sang ayah. Namun, kian dewasa Ara mulai terlihat menimang diri, apalagi setelah ayahnya kini sangat disibukkan oleh pekerjaan. 

Aku berusaha mengerti perasaannya sekarang ini. Melihat ibunya diperlakukan tidak layak pastilah bukan hal menyenangkan. Tamparan itu adalah luapan emosi yang mungkin telah ia pendam begitu lama. 

“Makasih, Ra, Makasih.” 

***

Semalam, setelah Ara tertidur, aku mengecek kondisi pasca Maya mengamuk. Angga dan Fahmi menjelaskan bahwa mereka telah memberitahu Mamah. Di luar dugaan mertuaku itu memarahi Maya. Pantas saja beliau tidak menemuiku. Si tengah dan si bungsu bilang, mereka juga sempat memarahi Maya, kemudian mengecek kondisiku dengan raut khawatir. Mereka memastikan bahwa ibunya ini tidak menderita luka serius. 

“Ibu nggak apa-apa, Ngga,” kataku tadi malam,  sebelum kembali ke kamar untuk tidur bersama Ara.

Pagi ini, Ara memutuskan untuk tidak berangkat kuliah, begitu juga dengan kedua adiknya. Mereka takut Maya melakukan hal gila lagi. Namun, hanya si sulung yang kuizinkan karena memang ia sedang mempersiapkan diri menghadapi masa prakerin, sehingga kegiatannya di kampus hanya seputar persiapan praktek kerja lapangan saja. Sementara Angga dan Fahmi tetap pergi, mengingat mereka harus konsentrasi belajar.

Sampai sekarang, pun saat sarapan tadi, Maya tidak terlihat. Ada sebuah rasa menelusup ke dalam dada tentang nasib iparku itu, setelah pengkhianatan suaminya ia juga harus menghadapi kematian sang putri, belum lagi kemarahan seisi rumah. Terlepas dari  caranya yang tidak tepat dalam menyikapi masalah dan cobaan, semua itu pasti sangatlah menyakitkan. Sebagai seorang ibu juga istri, aku mengerti rasa sakit dari pengkhianatan dan kehilangan yang dialaminya sekarang. 

“Coba kamu anterin makanan ke kamar Tante, Ra,” pintaku halus. 

“Gak mau!” tolak si sulung ketus tanpa mengalihkan pandangan dari tumpukkan pakaian. Kami sedang menyetrika. Ara memilah dan membalikkan pakaian, sementara aku menyetrikanya.

“Tantemu belum makan dari semalem, Ra. Kamu gak khawatir?” 

“Gak.”

Kuhela napas dalam seraya mematikan setrika dan menaruhnya. “Baik buruknya tingkah seseorang harusnya gak jadi patokan bagaimana kita memperlakukan dia, Ra. Karena takaran kemanusiaan seseorang dilihat dari bagaimana dia mampu memanusiakan orang lain, bahkan terhadap yang ia benci sekali pun,” tuturku menasehati, “Ibu harap kamu ngerti.” Lekat kutatap si sulung, kemudian mengelus pucuk rambutnya. 

Sesaat Ara terdiam, kemudian mengangguk dan beranjak ke dapur. Di usianya yang masih terbilang remaja, mungkin Ara tidak benar-benar memahami nasehatku, dan semata-mata hanya menuruti perintah ibunya ini saja. Akan tetapi aku percaya, tidak ada hal baik yang sia-sia, semua yang kulakukan juga contohkan pasti membekas di hatinya, dan akan ia ingat kelak.

Tumpukan baju yang telah disetrika kupilah untuk kemudian diantarkan ke kamar masing-masing pemilik pakaian. Namun, suara teriakan Maya yang diiringi nyaring pecahan kaca menghentikan kegiatanku. Seketika aku berlari memburu suara bising itu. 

Pemandangan Maya sedang meneriaki Ara langsung menyambut mata ini. Si sulung berdiri kaku dengan kedua tangan terkepal di samping, tubuhnya basah dan kotor, lantai tempat di mana ia berdiri berserakan pecahan gelas dan piring, juga nasi dan sayur mayur. Hatiku sakit sekali. Inikah yang kamu rasakan semalam, Ra? Maafkan ibu ….

Perlahan kuhampiri si sulung, lalu merangkul pundak dan membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel di tubuhnya. Tak kuhiraukan Maya yang masih meraung-raung menangis sekaligus berteriak. 

“Maafin ibu, Ra,” ucapku seraya memberi isyarat agar pergi. Namun, ia bergeming. “Ra.”

“Ara pengen di sini, Bu.” Suara Ara dingin dan datar seperti juga tatapan dan raut wajahnya. Tak sedetik pun ia berkedip menatap Maya.

“Ra ….”

“Bu.” Ara melirikku sesaat, kemudian menatap Maya yang kini diam. Entah karena apa. “Kenapa diem, Tante?” tanyanya kemudian. Maya tertawa frustasi, tapi tak ada lagi kata meluncur dari mulutnya. 

“Udah, Ra, biar ibu beresin di sini. Kamu bersih-bersih terus ganti baju,” bujukku halus. 

“Gak cuman Nita, Tante, semua orang di rumah ini hampir depresi ngadepin kelakuan Tante. Aku juga bakal malu banget kalo punya ibu macem Tante.” Suara Ara bergetar. “Malu banget!” Tambahnya penuh penekanan. “Jadi berhenti nyalahin ora—”

“Kurang ajar!” Maya berteriak, tangannya melayang hendak mendarat di pipi Ara. Aku menepisnya secepat mungkin, lalu reflek menamparnya sangat kencang hingga ia menjerit seraya menunduk memegangi wajah.

Kejadiannya begitu cepat. Aku tercenung dengan sekujur tubuh gemetaran, kemudian menatap Ara yang juga tengah terpana atas apa yang dilihatnya. Tidak, tidak akan kubiarkan Maya atau siapa pun menyakiti anak-anakku.

“Harusnya kamu malu, May,” tandasku seraya menarik Ara berlalu dari hadapan bibinya. 

Namun, saat berbalik langkahku terhenti. Di hadapan kami tengah berdiri Mamah yang entah sejak kapan berada di sana.

“Mah, Ai … permisi.” Aku melangkah melewati Mamah. Terserah saja apa yang akan terjadi setelah ini.

***

Pecandu SyahwatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang