Kesedihan dan Keresahan

4.2K 271 21
                                    

Kesedihan Maya terpaku di nisan sang putri. Sudah hampir satu jam ia menangis, enggan beranjak dari pusara tempat putrinya kekal terlelap. Bahkan, saat hendak berangkat tadi ia histeris, menjegal mereka yang hendak mengangkat jenazah Nita. Susah payah aku, Mamah, juga anak-anak membujuknya agar bisa tenang dan ikhlas, hingga akhirnya ia bersedia. Kini, entah bagaimana harus membujuk iparku itu agar mau pulang.

“Kalo kayak gini kamu cuma buat Nita semakin menderita, May,” ucapku hati-hati, “Lebih baik kita pulang dan doakan mendiang.” Perlahan kusentuh pundak Maya, tapi ia menepisnya dengan kasar. 

“Diem! Mbak pulang aja kalo mau pulang! Kalian semua juga. Pulang sana!” Pandangan Maya menyisir kami semua yang berdiri di belakangnya. Kemudian ia kembali tergugu memeluk nisan putrinya.

Aku memang tidak berharap banyak ia mau mendengarku. Perintah Mamah saja tidak dihiraukannya.

“May ….” Aldi berjongkok di samping Maya, lalu merangkul pundaknya. Dibanding istrinya itu, ia memang terlihat lebih bisa mengendalikan diri, meski tak dapat dipungkiri kesedihan tergambar jelas di wajah pun gerak-geriknya yang seolah-olah tampak kehilangan pegangan.

“Apa?” Maya melepas nisan, kemudian menoleh dengan tatapan nyalang. Selanjutnya tanpa diduga ia mendorong Aldi sampai terjungkal, lalu berhamburan caci-maki dari mulutnya diiringi raungan yang sontak membuat kami semua terkejut. 

Satu per satu tingkah bejat Aldi terkisahkan kembali dari mulut Maya. Perselingkuhan, ketidakbecusan mencari nafkah, kelalaian sebagai ayah, dan segala macam yang bermuara pada berakhirnya hidup sang putri secara mengenaskan. 

Iparku menggila kehilangan kendali. Aldi tergugu bersujud di tanah seperti tiada niat untuk berdiri. Mamah menangis dipelukan Ara tampak sangat terpukul. Si tengah dan si bungsu sekuat tenaga memegangi bibi mereka, yang terus berusaha menyerang suaminya. Sementara aku berusaha menenangkan Maya lewat kata-kata, hingga akhirnya hanya kehilangan kesadaranlah yang membuatnya berhenti.

Kedua putraku membopong bibi mereka ke mobil untuk selanjutnya dibawa pulang, Ara dan Mamah mengikuti. Setelah membujuk Aldi, aku pun segera menyusul dengannya.

Jarak dari pemakaman ke rumah cukup dekat, sehingga kami sampai dengan cepat. Karena masih belum sadarkan diri, Maya kembali dibopong kedua putraku bersama Aldi juga kali ini. Atas permintaan Mamah, Maya ditidurkan di kamar. 

“Kalian tunggu di depan aja,” pinta Mamah. Kami semua berlalu ke depan.

Masih datang tamu silih berganti menyampaikan duka, termasuk teman-teman sekolah dan wali kelas mendiang. Tidak jarang pertanyaan mengenai penyebab kematian Nita terlontar. Hal lumrah, mengingat mendiang tidak punya riwayat sakit, malah sehat walafiat. Kujawab sekadarnya saja, meski terlihat jelas rasa penasaran masih memayungi raut mereka. Bahkan, beberapa tampak saling berbisik. 

Satu per satu pelayat mulai pergi. Kian sore kondisi rumah kian sunyi, aku beranjak ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimasak untuk makan malam, dan meminta anak-anak merapikan ruang depan juga kamar mendiang. Sebentar lagi azan Maghrib akan berkumandang, dan aku tak ingin kami semua terus larut dalam kesedihan. 

Adonan pastel dan risoles yang sudah tak layak teronggok di atas meja makan, aku lekas membuangnya ke tempat sampah, lalu membuka lemari pendingin yang ternyata kosong. Tidak ada apa pun untuk dimasak. 

Keresahan membawaku duduk termenung di ruang makan, entah kapan Mas Danar akan pulang, sementara keuangan benar-benar memprihatinkan. Uang lima ratus ribu pemberian Maya pun telah habis digunakan keperluan ini-itu selama proses pemakaman Nita, kecuali biaya pemakaman dan gali kubur, semua dari Mamah. Kondisi Mamah, Aldi, dan Maya sedang tidak stabil untuk dimintai tek-tek bengek semacam itu. Hanya tinggal dua lembar seratus ribu uang yang kumiliki, ini jauh dari kata cukup. Terlebih aku juga tidak tahu kapan bisa mulai berjualan dalam kondisi rumah seperti ini. Ya Allah ….

Pecandu SyahwatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang