Waktu Ke Waktu

4.4K 311 19
                                    

Bertentangan dengan mendung dan kelabu yang tengah menyelimuti seisi rumah, pagi ini mentari bersinar cerah. Cahayanya merembes melalui gorden tipis dan menyinari setiap sudut rumah. Kilau keemasannya indah, apalagi saat membakar kulit wajah suamiku. Mas Danar duduk di sofa ruang tamu, tepat di samping jendela. Ia telah berpakaian rapi khas pria kantoran. Namun, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Sejak semalam ia terus seperti itu. 

Menurut anak-anak, semalam Aldi berkemas dan meninggalkan rumah. Saat sarapan Maya pun tidak ada. Akan tetapi suasana meja makan sunyi seperti di pemakaman. Hanya suara denting piring dan sendok saja yang mengisi. Ternyata pertengkaran semalam masih meninggalkan sisa di hati semua penghuni rumah. Begitu juga denganku.

“Hari ini gak keluar kota, Mas?” Aku menghampiri Mas Danar kemudian duduk di sampingnya. Ia menoleh, menyunggingkan seulas senyum.

“Gak, Sayang.” Sebelah tangannya melingkari pinggangku perlahan. “Kapan Mamah cuci darah lagi?” tanyanya kemudian.

“Besok.”

“Makasih, Ai. Kalo bukan kamu istri mas, mungkin gak akan sanggup tinggal di rumah ini, ngadepin keluarga mas yang ….” Ia mendesah, tampak gusar juga … entahlah. Sulit digambarkan.

Tidak sanggup? Mungkin aku merasakan itu. Sayangnya, aku bukanlah wanita yang bisa menyerah pada ketidaksanggupan. Karena ketidaksanggupan lain senantiasa menanti, melambai, dan merongrong benak ini, sehingga terlalu takut untuk keluar dan berlari. Aku wanita yang tumbuh besar dalam ketidaksanggupan, tapi tetap hidup demi melihat di mana ujung takdir.

“Mas bingung,” gumamnya diakhiri desahan.

“Beberapa manusia gak sadar, Mas, kalo terkadang mereka sendiri yang milih buat berdiri di atas kebingungan.” Sepertiku … yang menarik luka juga pedih dalam bimbang. Bimbang tentang segala keputusan.

“Kamu anugerah di hidup mas yang berantakan.” Ia tersenyum hangat.

Benarkah? Apa menjadi anugerah bagi seseorang rasanya memang membingungkan dan menyakitkan seperti yang kualami? Atau hanya kebodohanku saja yang ia anggap anugerah.

“Ai harap Mas juga bisa jadi anugerah di hidup Ai. Bisa, Mas?” 

“Mas selalu berusaha.” 

Aku tersenyum lalu menyandarkan kepala di bahunya, sebelum akhirnya ia pamit berangkat bekerja. Lekat kutatap Mas Danar yang melangkah melewati pintu. Dalam benak ini mengawang doa tentang perubahan di setiap langkahnya. Jadilah seseorang yang baru, Mas ….

***

Sepanjang hari setelah Mas Danar dan anak-anak berangkat kuhabiskan untuk bebenah rumah. Terakhir saat hari menjelang sore aku berkutat dengan segunung setrikaan, sambil menemani Mamah mengobrol karena beliau merasa bosan terus berdiam diri di kamar, katanya. Banyak hal yang kami bicarakan, dari mulai tentang anak-anak sampai masalah di kantor Mas Danar. Namun, Mamah seperti menghindar ketika aku hendak membahas tentang Maya dan Aldi.

“Padahal kamu jualan sayur sama lauk, Ai, masakan kamu, kan, enak,” saran Mamah tiba-tiba, “Yah, keuangan Danar lagi jelek, kamu juga harus mulai mikir bantu.” Beliau menambahkan.

Sebenarnya itu saran yang cukup masuk akal. Selain aku memang pandai memasak, di komplek ini juga belum ada warung nasi. Jika kebetulan sedang tidak bisa memasak, aku harus membeli lauk cukup jauh. Hanya warung nasi padang saja yang ada, itu pun jaraknya masih belum bisa dibilang dekat.

“Nanti Ai bicarakan sama Mas Danar, Mah.” 

“Kalo memang gak ada uang buat modalnya, kamu jual aja perhiasan mamah. Bongkar itu depan garasi dikit-dikit, terus beli etalase yang bagus.” 

“Jangan, Mah, Ai gak enak. Biar nanti Ai minta Mas Danar,” tolakku halus. Bukan semata-mata karena rasa tak enak harus menjual perhiasan Mamah, tapi juga akan jadi masalah jika sampai Maya tahu.

“Gak apa-apa, Ai. Mamah udah gak pernah ke mana-mana, udah gak butuh perhiasan.” Beliau menghelas napas dalam. “Sebentar lagi juga mati.” Mamah menambahkan dengan suara gemetar juga tertahan, disusul genangan bening di pelupuk matanya. Hatiku mencelos. Hatiku mencelos seketika.

“Jangan ngomong gitu, Mah.” Aku segera mematikan setrikaan, kemudian beringsut duduk di samping Mamah. 

“Dari muda Danar udah berkorban banyak.” Tatapan Mamah menerawang sesaat sebelum akhirnya menatapku. “Ini memang … salah Mamah.”

Riak duka menyeruak di wajah Mamah. Hati-hati kusentuh bahu beliau yang ternyata gemetar. Beberapa menit wajah itu tampak berusaha terlihat tegar, akan tetapi pecah menjadi isakan pilu yang kurasa karena tak lagi dapat beliau bendung. Tangisan seorang ibu yang menggetarkan hati ini untuk ikut merasakan kesedihan beliau tanpa butuh alasan. Kami pun tergugu bersama meski mungkin saling tidak menahu alasan kesedihan masing-masing.

“Mungkin Maya bisa berubah kalo Mamah mati, Ai.” Mamah menyeka wajahnya yang basah. Aku segera menggeleng, tapi tak dapat mengucap sepatah kata pun. Dada ini sesak.

Perubahan seorang manusia tidaklah bergantung pada hidup mati manusia lainnya. Meski mungkin bisa menjadi pencetus, tapi perubahan itu sejatinya berasal dari niat dan kesadaran diri sendiri. Bukan dari siapa atau atas apa pun.

Jika pun Mamah memang ditakdirkan berpulang mendahului kami, anak-cucu juga menantunya, maka aku sangat ingin melihat beliau pergi dalam keadaan damai dan tanpa beban. Tidak seperti sekarang ini.

“Doakan saja Maya, Mah. Jangan berharap sama kematian, itu gak baik,” ucapku pada akhirnya.

Mamah mengangkat wajah seraya menyeka sisa-sisa air mata. Beliau kemudian tampak berusaha tersungging. “Yah ….” 

“Mending Mamah istirahat di kamar,” saranku, “Biar Ai lanjutin ini nanti. Sebentar juga lagi anak-anak pulang.” 

Mamah mengangguk, lalu bangkit berpegangan pada dinding. Aku lekas membantu beliau dan mengantarnya ke kamar. 

Tidak ada kebaikan yang sia-sia. Sikap Mamah hari ini membuktikan hal itu bukanlah bualan, atau sekadar penghiburan bagi mereka yang mau ikhlas dan bersabar.

***

Holaaa, gesss!
Bagi yang mau daftar ikut PO silahkan WA ke nomor +6283821363046

Sementara belum keluar harga dulu, tapi kalo mau ikut daftar aja dulu biar didata. Sementata buat eBook, masih agak lama. Sekitar 2-3bulan lagi. Jadi buat yang gak sabar, cusss wa dan ikut daftar PO-nya! 😉😉😉

Pecandu SyahwatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang