Waktu ke Waktu 2

4.5K 322 26
                                    

Setelah mengantar Mamah, aku hendak kembali menyetrika. Namun, langkah ini terhenti oleh suara ketukan pintu yang disusul teriakan salam dari seorang wanita. Aku bergegas menuju pintu. Begitu terbuka wajah Mbak Mike beserta anak dan cucunya menyambut mataku.

“Mbak Mike,” sapaku ramah. Kemudian tersenyum seraya mengangguk kecil menatap putri dan cucunya.

“Ai, Nita … Nita meninggal?” balasnya dengan raut tak percaya. 

“Masuk dulu.” Aku mempersilahkan.

Setelah mereka duduk aku berlalu ke dapur untuk mengambilkan suguhan, kemudian kembali dan menaruhnya di meja. 

Basa-basi ringan menjadi awal perbincangan kami. Dari mulai saling bertanya kabar, hingga hal-hal yang menyangkut mendiang Nita. Tentu saja sebab kematian sebenarnya tidak kuceritakan.

“Maya kerja, Mbak, kalo Mamah baru aja istirahat,” jawabku saat Mbak Mike menanyakan mereka. “Mau Ai bangunin Mamah?”

“Ah, gak usah. Kasian,” cegahnya cepat, “Aku beneran gak nyangka. Ya Allah ….” Mbak Mike menyeka sudut matanya. 

“Semua juga gak ada yang nyangka, Mbak.”

Sebelum menjual kemudian pindah rumah, Mbak Mike memang cukup dekat dengan keluarga ini. Saat dulu ia terpuruk karena perceraian, Mamah beberapa kali membantunya. Tidak hanya dengan memberi pinjaman uang, Mamah juga sempat meminta Mas Danar dan Maya memberi Mbak Mike pekerjaan. Namun, baik di tempat Maya mau pun suamiku, janda beranak satu itu hanya sanggup beberapa bulan saja. Katanya, ia tidak biasa bekerja dan memutuskan menjual rumah yang kemudian dibelikan yang lebih kecil. Sementara sisa uang penjualan digunakannya untuk memulai usaha yang sukses hingga sekarang.

“Mike?” Mamah tiba-tiba muncul. Membuat semua yang berada di ruang tamu serempak menoleh.

“Ibuuu!” Mbak Mike berdiri kemudian menghampiri Mamah. Selanjutnya mereka saling bertanya kabar. Terlihat akrab.

“Kirain kamu udah lupa sama keluarga ini. Udah jadi orang kaya,” seloroh Mamah. Mbak Mike tersenyum malu. 

Mungkin merasa tersindir. Karena sejak pindah rumah, hanya beberapa kali saja ia berkunjung, itupun sudah lama sekali.

“Sibuk ini, loh, Buuu!” Mbak Mike tertawa. “Bukannya gak mau. Sekarang laundry-ku buka cabang lagi. Jadi, ya begitulah,” terangnya membela diri. 

Obrolan Mamah dan Mbak Mike terus berlanjut, sementara aku lebih memilih meninggalkan mereka. Selain karena tak ingin mengganggu 'reuni' itu, aku juga banyak pekerjaan. Sebentar lagi anak-anak pulang.

Aku menyelesaikan setrikaan, kemudian mandi lalu menyiapkan sayuran dan lauk untuk makan malam. Tidak dimasak, hanya disiapkan saja agar nanti tidak terlalu repot diburu waktu. 

Satu per satu anak-anakku pulang, dan melongok ibunya ini di dapur untuk sekadar menyalami. Kecuali Ara yang memberi kabar bahagia tentang hasil wawancaranya kemarin, ia diterima. Aku mengucap syukur dan memberi selamat untuknya. Si sulung terlihat sangat senang, membuat hatiku menghangat. 

“Eh, Mah, yang di depan itu Tante Mike, kan?” tanya Ara. 

“Iya. Kenapa?”

“Makin norak aja dandannya.” Ia terkikik geli.

“Hush! Gak boleh gitu!” tegurku. Meski sebenarnya aku juga setuju dengan pendapat si sulung. 

Selain riasan yang menor, Mbak Mike juga selalu berpakaian mencolok yang warnanya bertabrakan. 

“Ya maap.” Si sulung mendelik usil. “Ara mandi dulu, ah. Ibu gak lagi kerepotan, kan?”

“Nggak. Gih, sana.” 

Pecandu SyahwatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang