Dia yang Pulang (1)

4.9K 328 27
                                    

Keraguan juga rasa takut mengenai reaksi anak-anak terus menghantui benak ini. Tidak hanya Ara, tetapi ketiganya. Mereka akan bertanya jika sampai mengetahui ibunya ini tidak punya uang sepeserpun. Dan, jawaban apa yang mungkin masuk akal? Belum lagi tuntutan Angga untuk menghubungi kantor ayahnya sampai saat ini belum terpenuhi. Aku benar-benar tidak punya pilihan kali ini, selain mengatakan kebenarannya.

Saat si tengah dan si bungsu pulang, aku meminta mereka membersihkan diri kemudian makan, lalu berkumpul di kamar ini. Sudah cukup lama ketiga buah hatiku duduk di ranjang menatap ibunya ini penuh tanya, karena tidak sepatah kata pun sanggup terucap. 

“Ada apa, sih, Bu?” tanya Angga, yang kemudian disambut anggukan oleh Ara dan Fahmi. 

“Ibu … ibu pengen cerita sesuatu. Tapi ….”

“Kenapa, Bu?” potong Fahmi.

Aku bingung darimana harus memulai semuanya. Ini jauh lebih sulit dari bayangan, tatapan anak-anak malah membuatku semakin gugup juga merasa serba salah. 

“Si ibu kayak ABG yang mau nyatain cinta,” celetuk Fahmi diiringi tawa geli. Sontak saja kedua kakaknya ikut cekikikan. 

Namun, hatiku sakit melihat tawa mereka. Tawa yang mungkin sebentar lagi akan sirna setelah mendengar kenyataan yang akan kuungkap. Ya Allah, kuatkan dan besarkan hati mereka jika memang ini sudah waktunya kebusukan Mas Danar terungkap. 

“Udahlah, Bu, cerita aja. Kenapa?” Angga menatapku lekat. 

“Ra, Ngga, Mi, dengerin ibu baik-baik.” Kutatap mereka satu per satu, kemudian menghela napas cukup dalam demi menenangkan diri. Raut mereka pun berubah serius. “Ib—”

Suara ketukan pintu yang cukup kencang menjeda kalimatku, lalu disusul teriakkan salam dari seorang pria. Aku menautkan alis, kemudian melirik jam yang menunjukkan pukul 16. 45 WIB. 

“Sebentar.” Aku beranjak setelah salam diteriakkan untuk kesekian kalinya, begitu juga dengan ketukan pintu yang kian kencang mendekati gedoran. 

Seorang pria bersetelan kantor tersenyum saat kubuka pintu. Ia lantas memperkenalkan diri sebagai bagian keuangan di kantor tempat Mas Danar bekerja. Aku mempersilahkannya masuk dan duduk, tapi saat pamit hendak mengambilkan minum, ia menahanku.

“Gak usah, Bu, saya gak lama,” cegahnya. Aku lantas duduk. “Emh … Pak Danar belum pulang, kan, Bu?” Ia menatap ke arah dalam, tampak resah.

“Belum pulang?” Aku sedikit bingung mengartikan pertanyaannya. Apakah ia tahu Mas Danar ke Singapura atau pulang dari mana? 

“Itu … Bapak, kan, izin cuti buat nengok sodara di luar kota. Beliau belum pulang, kan?” jawabnya kemudian.

“Ah … ya.” Aku tersenyum kikuk. “Belum, Mas Danar belum pulang,” jawabku. Ia menghela napas panjang. “Ada apa, ya, Mas?” 

“Begini, Bu.” Ia tersenyum kemudian mengeluarkan amplop putih panjang dari dalam ranselnya. “Ini dari bagian keuangan,” katanya seraya menyodorkan amplop itu.

Aku mengambil amplop itu, yang ternyata berisi uang. “Ini …?”

“Begini, Bu, saya jelaskan,” katanya. Aku mengangguk pelan. “Jadi tiga hari yang lalu, sewaktu cuti pertama, Bapak ke kantor minta kasbon. Katanya, buat pegangan anak istri di rumah,” terangnya kemudian.

“Kasbon?” Kutautkan alis tak mengerti. 

“Iya, Bu, maklumlah kondisi keuangan kantor, kan, sedang gak baik. Jadi, sudah lima bulan ini karyawan memang gak digaji, dan mengandalkan kasbon sebagai bentuk tanggung jawab pemilik perusahaan,” jelasnya lagi, “Semua karyawan, Bu, termasuk saya sendiri.” Ia menambahkan dengan raut wajah serba salah.

Pecandu SyahwatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang