Happy Reading♔♔^^
SUARA jarum detik jam dinding memecah heningnya malam di kamar yang dominan dengan warna hitam dan abu-abu itu. Lampu kamar sudah mati hingga ruangannya menjadi gelap.
Namun dua pasang mata itu enggan terpejam meski jarum jam dinding hampir menyentuh angka dua belas. Mata tersebut hanya berkedip memandang ke langit-langit kamar.
Meski sang bunda telah berpesan agar mereka langsung tidur, nyatanya anak kembar laki-laki itu malah tidak bisa tidur. Keduanya tidur telentang bersejajar. Pandangannya menatap lurus langit-langit kamar yang gelap. Kedua cowok berparas tampan itu sama-sama sedang memikirkan sesuatu dalam lamunannya.
"Lo nggak bisa tidur, Ric?" tanya Jeno mengawali obrolan.
Eric hanya memberi dehaman singkat sebagai jawaban. Selain tidak bisa tidur karena tidak mengantuk, dia juga tidak bisa tidur karena ada yang mengganjal perasaannya.
"Jen," panggil Eric bergantian. Tanpa mengubah arah pandangnya dari langit kamar.
Sama dengan Eric, Jeno juga hanya berdeham sebagai tanggapan.
"Menurut lo, kita salah 'kan?"
Dahi Jeno mengernyit seketika mendengar pertanyaan Eric yang belum jelas kemana arahnya.
"Salah maksudnya?"
"Gue merasa bersalah sama Ayah soal omongan gue waktu itu," cicit Eric. Penyesalannya itu terdengar jelas dari nada suaranya.
"Harusnya gue nggak ngomong kayak gitu. Mungkin kecelakaan kita emang harusnya bikin kita sadar," lanjut Eric lagi. "Gue nggak bisa bayangin perasaan Ayah kayak gimana?"
Eric membuang napas lelah.
Sementara itu di sebelahnya, Jeno masih diam dan mendengarkan baik-baik apa yang ingin dikatakan Eric.
"Gue nyusahin banget ya? Bikin Bunda susah, Ayah susah, bahkan lo juga sering kesusahan gara-gara gue." Eric menjeda ucapannya selama beberapa saat. "Gue merasa bersalah banget sama kalian."
Setelah Eric selesai bicara dan seperti tidak ada lagi yang ingin dikatakan, Jeno menghela napas, berancang-ancang untuk membalas semua perkataan Eric.
"Lo tau kenapa lo nyusahin?" ujar Jeno tiba-tiba. Sontak Eric jadi menatap ke arahnya dengan kedua alis terangkat.
"Karna lo Eric. Anak ayah sama bunda dan adik kembar gue. Senyusahin apapun lo buat kita, itu nggak berarti apa-apa. Karna baik gue, ayah sama bunda sayang sama lo."
"..lo itu kayak orang yang jadi sumber kebahagiaan di rumah ini. Lo kekanakan, nyebelin dan keras kepala. Justru itu yang bikin ayah sama bunda sayang sama lo," sambung Jeno lagi.
Semua perkataan Jeno barusan sukses membuat Eric tertegun menatapnya. Ini adalah pertama kalinya dia bicara seserius ini dengan Jeno. Dan dia tidak menyangka kalau Jeno bisa mengatakan itu semua. Jujur saja, dia merasa sangat tersentuh.
"Gue juga nggak keberatan meski gue harus jungkir balik jatuh tebing buat lindungin lo. Karna gimanapun, udah tugas gue yang lahir sebagai kakak kembar lo," ujar Jeno tulus. Menatap ke arah Eric selama beberapa saat sebelum akhirya kembali melihat ke depan.
Tiba-tiba Jeno merasa malu dengan apa yang dia katakan barusan. Sungguh, selama dia hidup, dia belum pernah mengatakan hal-hal manis seperti ini. Apalagi dengan Eric yang setiap hari selalu dia ajak bertengkar dan berdebat.
Jeno berdecak. "Harusnya gue nggak ngomong kayak gini. Lo jadi seenak jidat ntar sama gue," cetusnya.
Detik itu juga Eric tertawa. Menertawakan perkataan lucu Jeno yang tiba-tiba menyesal karena mengungkap isi hati yang sebenarnya.
"Gue tau semua orang di rumah ini sayang banget sama gue," celetuk Eric.
Yang awalnya dia merasa sangat bersalah, sekarang malah begitu percaya diri.
"Tapi tetep aja sih, gue nyesel banget ngomong gitu sama Ayah," sambungnya. Tawanya seketika menghilang tergantikan dengan wajah sendu.
"Ya intinya lo tetep harus minta maaf sama Ayah sama Bunda," sahut Jeno. "Bukan lo aja, tapi gue juga harus minta maaf sama mereka.
"Iya, gue tahu." Eric mendengus pelan. "Mulai hari ini kita jadi anak yang baik buat Ayah sama Bunda, Jen."
Mendengar apa yang baru saja Eric katakan, spontan Jeno menatap ke arahnya dengan kedua alis terangkat kaget. "Lo nggak lagi ngelindur?" cetus Jeno.
Eric berdecak, melirik kesal ke arah Jeno. "Emang napa sih? Menurut lo gue nggak cocok jadi anak yang baik?!" sungutnya.
"Emang enggak," balas Jeno dengan entengnya.
"Gue buktiin ya, gue bakal jadi anak yang baik." Eric bertekad yakin.
Sontak Jeno berusaha menahan tawanya agar tidak pecah. "Gue yakin lo nggak berhasil," cibirnya mengejek Eric.
Eric kembali menatapnya tajam. "Lo saudara gue bukan sih, kampret banget!" kesalnya.
Tidak ada jawaban dari Jeno. Cowok bermata sipit itu menarik napas panjang, kemudian menghelanya perlahan. Pandangannya kembali menatap langit-langit kamar.
Diamnya Jeno membuat suasana kembali hening seperti semula. Eric pun ikut diam dan kembali menatap langit-langit kamar seperti yang Jeno lakukan.
Sesuatu melintasi pikiran cowok berwajah lembut itu. Sampai kemudian sebuah pertanyaan keluar dari bibirnya.
"Jen, kalo lo suka sama Yeji, terus Siyeon gimana?"
Tanpa mengalihkan pandangannya, Jeno menjawab enteng. "Gue juga suka sama Siyeon."
Detik itu juga bola mata Eric membelalak sempurna. Kaget dengan apa yang Jeno katakan.
"GIMANA BISA GITU ANJIRRR?!!!"
"DIEM GOBLOK! NTAR BUNDA DENGER!"
♔♔
Dahlah, mereka berisik.
Thanks for reading💓
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inseparable[✔️]
FanfictionCerita si kembar yang sifatnya bertolak belakang. Jeno yang sedikit tenang dan Eric yang punya banyak tingkah. (Completed) [Series siblings] from The Family Copyright ©2020 i n d a s h a a