"Ini, Bu, belanjaannya," ucapku setelah sampai di rumah.
"Masak yang enak untuk Ayah, sebentar lagi dia pulang," perintah Ibu dengan nada biasa saja.
Ketika nada bicara Ibu seperti itu, aku jadi lebih berani berbicara, "bukannya tadi pagi Hera udah masak, ya, Bu? 'kan, lauknya masih banyak."
"Oh, berani ngelawan, ya, kamu sekarang, ha! Mau ngebantah? Iya?" bentaknya membuat mulutku tak berani mengeluarkan suara.
"I-iya, Bu, ma-maaf," aku segera pergi ke dapur untuk melaksanakan perintah Ibu. Seperti itu Ibu tiriku, tidak pernah bisa sekali saja membiarkan ku terbebas dari pekerjaan rumah, ia selalu menyuruhku melakukan apapun agar aku tidak bisa beristirahat sama sekali, seperti itu yang dia inginkan.
Di ufuk barat, terlihat matahari yang beranjak pulang ke peraduan, menandakan bahwa hari mulai petang, diikuti kicauan bahagia dari burung-burung yang ingin segera pulang karena merindukan anaknya, mengais sedikit makanan demi anak-anaknya.
"Ayah pulang ..." teriak Ayah dengan ceria.
Sontak Ibu segera menyambut dan menghampiri Ayah, mencium punggung tangan Ayah.
"Ayah lapar, Ibu sudah masak, 'kan?" tanya Ayah sambil mengelus perutnya.
Ibu segera mengangguk, "udah, dong. Ayo, kita makan Ibu sudah masak yang enak untuk Ayah," ajaknya dengan bangga.
Cih, Ibu sudah masak yang enak untuk Ayah? Dasar pembohong, jelas saja itu masakan yang aku masak tadi.
Mereka dengan bahagia menyantap makanannya, sedangkan aku, aku hanya memandangi mereka sambil menahan rasa sakit di perutku sejak tadi pagi. Apa mereka tidak memperdulikan diriku? Aku sangat menunggu Ayah berkata "kemari, Nak, kita makan bersama," atau sekedar bertanya, "kamu sudah makan?" Haha, nyatanya itu semua hanyalah khayalanku yang 'tak akan mungkin menjadi nyata.
"Ngapain kamu diam saja disitu?" tanya Ayah menyadari aku yang sedang memperhatikan mereka.
"A-aku lapar, Yah," jawabku pelan sambil menundukkan kepala.
Ibu langsung menatapku 'tak suka, "nanti, kamu makan setelah kami selesai makan."
"Lebih baik kamu tunggu di dapur, jangan mengganggu selera makan kami," ucap Ayah sangat 'tak memikirkan perasaanku.
Bagaimana? Sudah lihat, 'kan? Bahkan Ayah kandungku sendiri pun sekarang tidak suka kepadaku.
Aku segera berbalik untuk pergi ke dapur, aku ingin sekali menangis dan menjerit sekuat yang aku bisa, meluapkan semua sakit ini, sakit yang tidak akan pernah menemukan penawarnya.
Terlintas pikiranku untuk membunuh mereka semua, aku sudah muak dengan semua ini, hatiku sudah banyak menyimpan rasa sakit kepada semua orang yang berada di sekitarku, terkadang pikiran itu selalu melintas di otakku, menjadi seorang psikopat yang haus akan dendam, membunuh dengan sadis siapapun yang berani menyakitiku.
Membunuh atau bunuh diri? Hanya itu pilihan yang selalu ingin sekali kupilih.
Jika aku memilih pilihan pertama, aku tidak akan pernah bisa. Bagaimanapun yang terjadi, mereka semua pernah memperdulikan diriku, pernah melukis tawa dan senyum di wajahku, aku pun tidak ingin berdosa, biarlah mereka berbuat sesuka hati, karena aku tahu keadilan akan selalu ada, meskipun 'tak pernah sekalipun berpihak padaku.
Yang bisa kulakukan mungkin saja pilihan kedua, yaitu mengakhiri hidup, pergi dengan tenang meninggalkan mereka semua, mengakhiri luka yang teramat sakit ini. Tapi aku masih memiliki impian, impian yang selalu kuimpikan bisa mengakhiri penderitaan ini, kalaupun impian itu 'tak bisa kugapai, setidaknya aku berharap ada seorang pahlawan yang mau menolongku dan membebaskanku dari semua ini.
"Nih, makan untuk kamu," ucap Ibu memberikan sepiring nasi dan ... kerupuk? Oh, baik sekali dia, dari sekian banyak masakan yang kumasak, hanya ini yang dia berikan untuk mengganjal perutku yang kelaparan sejak tadi pagi?
"Kalau kamu nggak mau terima bilang! Nggak tahu terima kasih banget ya kamu," teriak Ibu melempar nasi yang tadi ia pegang, padahal aku hanya sedang memandang sebentar nasi itu, dan kini sudah berhamburan 'tak karuan sebelum sempat kumakan.
"Ada apa ini?" tanya Ayah yang datang menghampiri kami.
"Ini, Mas, Hera tidak mau terima diberi makan, padahal aku sudah sangat baik ingin memberi dia makan," jawab Ibu dengan nada yang dibuat manja membuatku semakin muak saja.
"Nggak tahu terima kasih ya kamu, sekarang bersihkan ini semua dan jangan mengambil sedikit makanan pun di meja sebagai hukuman untukmu, kalau ingin makan, makan saja nasi yang berhamburan ini," ucap Ayah tegas dengan pandangan 'tak suka.
'Tak terasa air mataku sudah mengalir tanpa diperintah, "Ayah, aku ini anakmu, apa kau tidak ada sedikitpun rasa sayang untukku? Tidak usah rasa sayang, rasa kasihan saja sudah cukup bagiku, aku ingin merasakan sedikit saja kebahagiaan yang pernah kudapatkan dulu, bagaimana engkau selalu memperdulikan diriku, bagaimana kita yang berjuang berdua menahan rasa sakit setelah Mama pergi meninggalkan kita," ucapku dengan nada bergetar.
"Diam!" teriak Ayah menampar pipiku, aku terkejut dan hanya bisa memegang pipiku yang sakit setelah ditampar.
"Jangan sebut-sebut Mamamu yang tak tahu diri itu, sekarang aku sudah bahagia bersama istriku saat ini."
"Ba-bahagia? Apa yang Ayah maksud bahagia adalah ba-bahagia di atas penderitaan ku? Sungguh te-tega sekali A-ayah," ucapku dengan tangis yang 'tak bisa tertahan, aku segera berlari meninggalkan mereka berdua, masuk ke dalam kamarku untuk menenangkan hati ini.
"Heh, mau kemana kamu? Orang tua sedang bicara kamu malah pergi," teriak Ibu 'tak kuhiraukan.
Ma, kenapa sih Mama pergi ninggalin aku? Yah, kenapa Ayah berubah setelah menikah dengan Ibu Sarah? Teman-temanku, mengapa kalian semua menjauh hanya karena iri dengan kecerdasanku dan semua yang pernah kumiliki dulu? Beberapa guru pun ada yang 'tak suka denganku hanya karena mereka tahu aku dijauhi oleh teman-temanku. Menurutku mereka semua sangat aneh, aku bahkan tidak mengerti bagaimana cara berpikir mereka. Padahal sebelumnya kehidupanku sangatlah bahagia, seperti membawa pengaruh buruk, setelah kehadiran Ibu, warna hidupku tak secerah dulu lagi.
Aku menjerit dan menangis menumpahkan segalanya, berharap rasa sakit ini berakhir, 'tak disingkirkan lagi, dan kembali mendapatkan kebahagiaan yang dulu sempat ada.
Matahari, jangan redupkan sinar mu,
Hanya kau yang bersedia menemaniku di kala siang.
Bulan, jangan bersembunyi,
Hanya dirimu yang bersedia menemaniku di kala malam dengan tangis yang selalu membuncah.
Angin, jangan berhenti berhembus,
Hanya kaulah yang setia menemaniku setiap kali aku membutuhkan.
Burung, hanya kaulah yang bisa terbang bebas di angkasa,
Tolong, sampaikan pada Tuhan, aku ingin bahagia.Halmahera Dutami.
______________________________________
Jujur, author ngetik cerita ini jadi sedih sendiri😭 sabar ya Hera 😭
Jangan lupa vote dan komen ya biar aku semangat untuk terus update 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
FIRST FRIEND AND FIRST LOVE (SUDAH TERBIT!!)
RomancePLAGIAT DILARANG MENDEKAT!! BUKU SUDAH DITERBITKAN DAN BISA DIDAPATKAN DI TOKO BUKU ONLINE ATAU WEBSITE guepedia.com Sinopsis: Seorang wanita yang hidup dalam kesengsaraan, menjalani hidup dalam kepedihan. Kebahagiaan 'tak pernah berpihak padanya, b...