11. Selingkuh

49 14 47
                                    

"Siapa kamu?" tanya Ayah dengan nada bingung.

Defan meraih tangan Ayah dan mencium punggung tangannya, "saya, Defan, Om. Teman sekelas Hera," jawab Defan sopan.

Ayah memperhatikan Defan dari atas sampai bawah, seperti ada keheranan dalam wajahnya, heran ternyata masih ada yang mau berteman denganku.

Ayah berpikir sejenak, "mau ada urusan apa kamu mencari dia?"

Defan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Ayah, "saya mau ngajak Hera jalan-jalan, Om, saya janji, kok, akan menjaga Hera."

Sepertinya Defan anak yang baik, begitu yang terlintas di pikiran Ayah terlihat dari raut wajahnya.

"Hera, ada teman kamu, nih, diluar," teriak Ayah memanggilku.

"Iya, Yah," balasku sambil sedikit berlari ke arah pintu.

Rok sepanjang lutut berpasangan dengan baju putih pendek, dan rambutku yang tergerai bebas, terlihat sederhana tetapi aku merasa terlihat cantik memakainya. Segera aku mengambil slidebag berwarna hitam agar senada dengan rokku, karena tahu ada Defan datang ke rumah.

"Hera boleh pergi, Yah?" tanyaku sedikit takut.

"Hm," jawab Ayah dan segera beranjak masuk ke dalam.

Ya, aku tahu, bagaimanapun juga Ayah pasti ingin aku merasakan bahagia meskipun kebahagiaan itu tidak ada di dalam rumah.

"Kita mau kemana, Defan?" tanyaku sambil sesekali melihat sekeliling kami.

"Kenapa kamu nggak sekolah kemaren?" tanya Defan tidak menjawab pertanyaanku.

Aku terdiam sesaat, "nggak apa-apa, kok, kita mau ke mana, Defan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Hmm, ikut aja, kamu pasti suka," jawab Defan tersenyum manis.

Kami terus saja berjalan mengikuti jalan setapak dengan berbagai jenis bunga di tepinya. Aku sangat terpukau, terus saja memandang satu persatu bunga itu takjub, dengan hati masih bertanya akan dibawa ke mana diriku oleh Defan.

Bukan, ini bukan negeri dongeng, bukan pula dunia fantasi, tapi kini di hadapanku terhampar jelas pemandangan yang membuatku sulit untuk mengedipkan mata.

"Def, ini ... kamu yang dekor tempatnya?" tanyaku 'tak percaya sambil terus memandang takjub pada apa yang kulihat saat ini.

Semuanya berwarna, seolah 'tak membiarkan ada sedikitpun warna hitam yang seringkali disimbolkan sebagai warna duka. Tepat di depanku, tampak kolam bercat putih dengan bentuk lingkaran dihiasi dua patung angsa yang terus bergerak mengelilingi kolam, dengan air mancur di tengahnya.

Di kiri dan kananku, ada dua rumah kecil yang semua bahannya terbuat dari kayu, beserta ukiran yang sangat cantik dengan atap yang dipenuhi bunga warna-warni.

Tepat di depanku lagi, di samping kolam angsa, terdapat tempat duduk panjang dengan satu meja ditengahnya yang lagi-lagi terbuat dari kayu, lengkap dengan makanan dan minuman yang sudah tersaji di sana. Tempat itu tidak terlalu luas, tetapi penuh dengan berbagai dekorasi dari kayu dan bunga warna-warni yang beragam, beralaskan rumput hijau dan beratapkan langit yang dipenuhi awan putih nan cantik, menciptakan suasana seperti sedang berada di dunia peri.

Defan hanya diam dan tersenyum senang memandangku yang sedari tadi kesana-kemari untuk memperhatikan segala yang ada di hadapanku.

"Suka?" tanya Defan menyadarkan diriku.

"Wow! Aku serasa lagi ada di dunia peri, Def, tempatnya indah banget," ucapku terpukau, "kamu tau darimana tempat ini?" tanyaku kembali.

"Ini tempat favorit aku, Papa yang udah menciptakan tempat ini untukku, katanya kalo aku lagi sedih, aku maen aja kesini," aku mengangguk mengerti, "kamu lihat dua rumah itu? kalo aku lagi nggak mau pulang ke rumah, aku pasti tidur di rumah itu," ujar Defan dengan tawa kecil.

Aku pun menunduk sedih, "Papa kamu baik banget ya, Def. Andai Ayah aku kaya Papa kamu."

"Ssstt, jangan gitu, ah, sekarang tempat ini jadi milik kita berdua, dan kamu boleh kapan aja maen ke sini," ucap Defan sambil mengangkat pelan daguku.

"Sekarang rumah itu juga jadi milik kamu, aku rumah yang kiri dan kamu rumah yang kanan," ujar Defan sambil memberikan sebuah kunci rumah kepadaku, "aku kasih nama tempat ini 'Taman Kebahagiaan' jadi, kamu boleh sebut tempat ini dengan nama itu juga," lanjut Defan antusias.

"Makasih, Def," hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan sambil tersenyum haru, entah harus berkata apa lagi untuk Defan yang sudah sangat baik kepadaku.

"Santai aja, kita 'kan sahabat jadi aku harus selalu buat kamu bahagia," jawab Defan, "makan, yuk, aku udah laper, nih, hehe," ajak Defan sembari memegang tanganku dan mengajakku ke kursi yang sudah di sediakan lengkap dengan makanannya.

Usai makan, Defan merogoh saku celananya mencari sesuatu disana, aku tidak tahu apa yang sedang dia cari, "simpan ini, gantungan burung merpati yang melambangkan persahabatan kita, sederhana memang, tapi aku pengen kita berdua seperti dua burung merpati ini, setia dan selalu bersama," ujar Defan memberikanku satu gantungan burung merpati.

Aku mengangguk dan memandang gantungan itu, "aku janji bakal simpan ini baik-baik, selagi masing-masing dari kita masih menyimpan ini, persahabatan kita akan tetap abadi, Def," ucapku penuh harap.

Defan mengangguk dan kembali mengajak aku untuk jalan-jalan ke tempat lain. Tak jauh dari 'Taman Kebahagiaan,' terlihat penjual ice cream yang sedang ramai diserbu anak-anak. "Def, aku mau itu," rengekku menunjuk ke arah penjual ice cream.

Defan mengikuti arah tanganku, "tunggu sini, ya, biar aku aja yang beli." Aku mengangguk dan mengambil duduk di kursi yang 'tak jauh dari tempatku berdiri.

"Loh, itu, 'kan?" Aku tercengang melihat apa yang ada di hadapanku, seorang wanita dan seorang pria yang berada 'tak jauh dariku sedang berjalan bergandengan sangat mesra, tentu saja aku sangat mengenali siapa perempuan tersebut.

Saat dua orang itu melintas di hadapanku, aku membuang muka dan menutupi mukaku dengan telapak tangan, berharap perempuan itu tidak menengok ke arahku. Sesaat setelah dua orang itu berlalu, Defan kembali dengan dua ice cream coklat di tangannya. Sepertinya Defan tidak melihat dua orang tadi.

"Def, kita langsung pulang aja, yuk," ajakku sembari meraih satu ice cream yang telah dibeli Defan.

"Yakin nggak mau jalan-jalan lagi?" tanya Defan memastikan.

Aku menggeleng mantap, "enggak, Def, aku takut kalo kelamaan nanti Ayah sama Ibu bakal marah."

Defan mengangguk mengerti, "yaudah, yuk, kita langsung pulang. Abisin, tuh, ice cream-nya jangan sampai belepotan," ucap Defan dengan kekehan kecil.

Aku hanya tersenyum simpul dengan pikiran yang masih tertuju dengan apa yang kulihat beberapa menit lalu, "jadi, Ibu beneran selingkuh?" tanyaku dalam hati.

____________________________________

Ciee Hera di ajak ke tempat favoritnya Defan 🤣

Lalu sebenarnya, Ibu beneran selingkuh? OMG, jahatnya 😱

Ikutin terus ceritanya dan tinggalkan jejak 😗

FIRST FRIEND AND FIRST LOVE (SUDAH TERBIT!!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang