BAB 6: Bad Dream

101 22 5
                                    

Michel berdiam diri di dalam kamar. Sendirian. Kedua bola matanya sudah memerah, dia tidak bisa terlelap.

Tidak nyaman dengan posisi tidurnya, Michel terus menggeliat dalam selimut. Bunyi detik jam dinding begitu berisik. Rasanya dia ingin melemparnya keluar jendela.

Dia butuh ketenangan. Dia butuh istirahat.

Michel sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk keluar dari masalah. Putus asa. Begitu banyak pendapat yang berbisik di benaknya. Ada yang berusaha untuk membawanya lari dari kenyataan dan ada pula rasa empati yang membuat dirinya semakin gundah.

Jual laptopnya. Buang saja. Hancurkan.

Tolong aku dari sang Pembuat Keabadian. Tolong ....

Coba tidak ada pesan itu, mungkin Michel sudah lama melenyapkan benda terkutuk pembawa malapetaka demi kebaikannya. Namun sayang, dia tidak bisa.

Hatinya menjerit. Setengah jiwanya memberontak. Mengetahui ada seseorang—entah dia kenal atau tidak—yang perlu diselamatkan. Hanya Michel yang mengetahuinya. Hanya dia yang menganggap serius pesan itu.

Kalau semua ini sekadar gurauan, Michel akan membuat perhitungan kepada siapa pun yang membuat ide konyol seperti ini. Tidak lucu.

Di balik itu semua, dia yakin akan satu hal. Kejadian ini bukan main-main, kewarasannya sedang dipertaruhkan di sini.

Besok Michel harus bertemu dengan Lea. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Demi dirinya sendiri.

Ya ... semua demi menyelamatkan kedamaian yang sudah lama menghilang di hari-hari yang Michel jalani. Terlepas dari mimpi buruk tak berujung ini.

Dalam ketenangan malam yang dingin dan sepi, terdengar suara gagang pintu yang diputar. Suaranya dekat, bergema dalam kamar. Michel bangkit dari ranjang dan memperhatikan pintu kamar.

Ada lagi orang yang salah masuk kamar?

Tidak ada gerakan. Senyap. Michel mengerjap-ngerjap matanya beberapa kali, meyakinkan diri bahwa dia sedang tidak berhalusinasi. Dia pun kembali berbaring dan meraih gawainya. Akan tetapi, suara besi bergesekan itu kembali.

Sekarang gagang pintu itu diputar dengan kasar dan cepat. Seketika Michel yang melihatnya mematung beberapa detik. Mengatupkan kedua tangannya ke depan mulut.

Siapa yang mencoba menerobos masuk? Maling? Tidak mungkin. Kenapa harus dia? Kenapa dari dua puluh kamar harus kamarnya?

Michel mencoba untuk berteriak, namun rasa takut telah menyekat suaranya hingga menghilang. Seolah-olah ada bola besar yang tersangkut di dalam leher. Dia sulit berbicara, susah untuk bernapas. Sesak.

Belum selesai dengan pintu yang berusaha dibuka paksa, Michel dapat melihat sebuah bayangan besar muncul di balik jendela. Siluet tubuh itu memanjang hingga ke depan pintu kamar. Badannya begitu besar. Michel yakin yang sedang berdiri di sana adalah seorang pria.

Apa dia komplotan dari pencuri yang ada di depan kamarnya? Apa dia sedang mengawasi keadaan di dalam?

Secepat kilat Michel menarik selimut, menutupi seluruh tubuh hingga tidak menyisakan kulitnya tersentuh udara luar. Yang Michel lakukan adalah berpura-pura tidak ada di dalam kamar. Mungkin saja pelaku mengurungkan niatnya. Tetapi ada pula kemungkinan mereka akan melancarkan aksinya.

Kenapa tidak ada yang mendengar suara gaduh ini? Kenapa tidak ada yang menolong?

Michel menghitung perkalian tiga sembari menutup kedua lubang telinga agar lebih fokus. Dia harus bisa mengendalikan diri.

Tiga kali empat sama dengan dua belas.

Tiga kali lima sama dengan lima belas.

Tiga kali enam sama dengan delapan belas.

Everlasting Maker ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang