BAB 7: Hidden

77 21 1
                                    

"Kenapa kamu tidak masuk selama dua hari? Kamu sakit?" tanya Lea tanpa melepaskan pandangan dari layar laptop. Jari-jarinya sedang menari dengan lincah di atas papan ketik.

Michel tersentak. "Bagaimana kamu bisa tahu? Kamu kan bukan teman sekelasku," katanya was-was. Lea seperti memata-matainya saja.

Kejadian yang terjadi di indekosnya, Michel jadikan salah satu rahasia terbesarnya. Dia tidak mau sampai orang-orang mengetahui alasan mengapa dia membolos. Siapa coba dosen yang mau mentoleransi seorang mahasiswa yang meliburkan diri karena mimpi buruk? Adella yang dia temui hari ini pun tidak banyak bertanya akan keadaannya.

Selama dia bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa, semua akan berjalan sebagaimana semestinya.

"Aku kan suka keliling di sekitar kampus. Mendapati orang yang kukenal di tengah jalan adalah perkara mudah. Dan selama dua hari, aku tidak melihatmu."

"Apa aku mudah sekali dikenali? Tunggu—ngapain kamu jalan-jalan di sekitar kampus?" tanya Michel curiga.

"Adalah ...." Lea tampak menghindar pertanyaan itu. "Bukan mudah dikenali—kebiasaanmu. Kamu itu tipe kupu-kupu; kuliah, pulang, kuliah, pulang. Tipikal anak rumahan. Makanya aku mudah untuk mengawasimu. Memang ada tempat selain fakultas yang kamu datangi?" tanya cowok itu dengan penuh keraguan.

"A-aku juga pergi ke perpustakaan kampus, kok," timpal Michel mencoba mengoreksi Lea.

"Kamu itu mudah sekali ditebak, Lia. Saranku ... kamu ubah rutinitasmu. Sebelum terlambat."

"Kenapa kamu sok mengatur hidupku? Kalau aku suka menjalaninya, ya, biarkan saja. Itu bukan urusanmu."

Lea menggelengkan kepala sambil mendecap-decap lidah. "Kenapa semua nasihatku kamu anggap sebagai sebuah perintah? Ah, sudahlah. Lupakan."

Seperti yang dikatakan Lea, Michel membolos dua hari, lebih dari seharusnya. Gadis itu mengalami trauma yang mendalam, membuatnya takut untuk mematikan lampu pada saat tidur. Dia pun menambah kunci gerendel di pintu dan jendela kamar. Dan dia baru merasa baikan di hari ketiga.

Michel sudah yakin bahwa semua pengalaman mencekam itu hanyalah mimpi. Hanya saja perasaanya masih tidak enak.

Mengapa terasa sangat nyata?

Pertanyaan itu harus dia beritahu ke psikiater saat tiba waktu konsultasinya.

Merasa sudah waktunya untuk keluar dari sarangnya yang aman, Michel memutuskan kembali bertemu dengan Lea. Mereka sepakat kumpul di depan koperasi untuk melakukan penyelidikan.

Kursi dan meja berpayung warna-warni tersedia di teras depan koperasi kampus yang pelayanannya sudah bisa menyamai swalayan moderen. Memberi suasana sejuk di atas tanah yang gersang. Tempat incaran para mahasiswa untuk menghabiskan waktu sebelum kembali ke kelas.

Namun anehnya, siang ini tidak begitu banyak orang yang nongkrong di sana. Penyebab utamanya adalah cowok yang mengenakan jaket hitam yang duduk di seberang Michel, siapa lagi kalau bukan Lea.

Keberadaan Lea membuat orang lain risih dan pergi begitu saja. Padahal dia hanya berdiam diri di bangkunya dan larut dalam pekerjaan. Pemuda itu pun tidak peduli dengan sekitarnya.

Michel berpikir sejenak di dalam benaknya, apa yang dikatakan Endro memang benar? Bahwa Lea adalah orang yang berbahaya?

Walaupun begitu, ada sisi baik dengan adanya Lea di dekat Michel. Suasana di sekitar gadis itu menjadi tenang dan terkendali. Tidak perlu resah untuk menjaga kerahasian tindakan mereka yang termasuk ilegal. Selain itu, Michel juga tidak suka jika berada di tempat yang penuh sesak, dengan suara teriakan atau obrolan sana-sini yang memekakan telinga, misalnya di kantin fakultas.

Everlasting Maker ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang