BAB 15: Madness

103 19 6
                                    

Michel terbangun dan mendapati dirinya tertidur di lantai kamar. Matanya membelalak dan diedar ke segala arah. Detak jantungnya masih bisa dia rasakan, malah sudah merambat ke kepalanya dan terasa sakit sekali. Kehangatan tubuhnya belum menghilang. Rasa perih di belakang kepala menyadarkannya kembali ke alam sadarnya.

Mimpi buruk itu telah menjadi kenyataan.

Gadis itu sontak berdiri dan membuka pintu kamar, berlari sekencang mungkin mencari sosok pemuda yang akan menolongnya tanpa peduli dengan penampilannya yang berantakan.

Michel hanya membutuhkan Lea.

Panasnya aspal yang melepuh dia acuhkan. Krikil-krilik yang berserakan di tanah dan rumput tinggi yang gatal, dia terobos. Rambut hitam terurainya kusut dan membentuk gumpalan-gumpalan mengerikan. Tidak peduli seperti apa tatapan semua orang ketika melihat sosok Michel.

Di seberang jalan, ada segerombolan anak kecil berseragam putih merah yang menyadari penampakan Michel yang tidak cocok di pagi yang indah nan cerah. Salah satunya melayangkan telunjuknya sembari berkata, "Lihat! Ada orang sakit jiwa."

Ya, bisa jadi ... karena kewarasan Michel sudah di ujung tanduk dan sedikit lagi akan jatuh ke lembah kegilaan.

Gedung koperasi sudah di depan mata. Cowok yang mengenakan tudung dan jaket berwarna merah api sedang duduk di salah satu bangku dengan kedua kaki dinaikan ke atas meja. Selain dirinya, hanya bangku-bangku kosong yang menemani dirinya menghabiskan waktu di sana.

Lea pasti mengerti penderitaan Michel. Cuman dia yang memahami hal-hal tidak masuk akal seperti dua orang penguntit yang datang ke kosnya tadi malam.

Michel yakin seratus persen kalau kejadian itu bukanlah mimpi seperti dahulu. Ternyata bunga tidur itu adalah sebuah pertanda akan masa depan yang akan menimpanya. Ini semua pasti ada kaitannya dengan siapapun yang mengetahui kalau Michel telah menerobos masuk ke wilayah kesenangan mereka.

Lea satu-satunya harapan yang bisa menyelamatkannya dari teror ini.

"Lea! Kumohon, tolong aku," pinta Michel dengan suara serak. Tenggorokannya kering akibat berlari tanpa henti sejauh dua kilometer.

Lea menoleh dan terkejut. Cowok itu mendorong kursinya ke belakang dan segera mendekat ke gadis malang itu. "Lia ... apa yang terjadi padamu?" tanyanya tampak khawatir.

Suara lembut dari Lea membuat tangisan Michel pecah. Gadis itu langsung memeluk tubuh Lea sembari meraung-raung keras. Air mata mengalir deras di pipinya yang pucat.

Rangkulan hangat bisa Michel rasakan di punggungnya. Arom tubuh Lea sejenak membuat dirinya tenang. Dia sudah tidak tahu harus ke mana lagi.

Tidak ada tempat yang aman baginya. Tidak ada jalan pulang untuknya.

"Lia, ayo duduk dulu. Kita bicarakan pelan-pelan tentang apa yang menimpamu tadi, oke?"

Michel mengangguk sekali, melepaskan pelukannya, dan berjalan terseok-seok ke kursi kosong yang dituntun oleh Lea. Gadis itu duduk dan membisu. Sinar matanya begitu hampa.

Lea yang tidak tahu harus memulai dari mana pun bertanya, "Kamu mau minum? Aku bisa ambilkan di dalam."

Perlahan Michel meraih lengan baju Lea dan berkata dengan suara rendah dan lemas, "Tidak. Tolong, jangan tinggalkan aku sendirian."

"Kalau begitu ... kamu mau menceritakan kepadaku apa yang terjadi?" bujuk Lea sembari menggenggam tangan Michel yang dingin dan bergetar lembut.

Gadis yang masih mengenakan pakaian tidur itu kembali terdiam. Wajah Michel yang sembap membuatnya lebih sering menundukkan kepala.

Everlasting Maker ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang