RION tengah duduk diatas sofa berwarna abu di rumahnya. Sedang petang dan orang rumah keluar semua. Rion tak begitu suka menonton televisi, jadi yang ia lakukan sekarang adalah bermain gitar kesayangannya. Melantunkan nada dengan melodi acak sesuai kondisi hatinya.
Sangat membual, jika ia langsung melupakan kejadian dimana Nala tiba-tiba menangis saat ia tanya akan lanjut dimana.
Bohong, jikalau hatinya tak resah namun hanya bisa pasrah.
Rion tahu apa yang dilakukannya salah karena mengabaikan segala pesan yang dikirimkan gadisnya. Ia hanya merasa butuh ruang sendiri untuk menguatkan hati untuk segala ucap yang Nala sudah rancang di masa depan. Ia selalu ingin Nala nyaman tanpa merasa di kekang, ia ingin selalu melingkup agar Nala merasa cukup.
Frustasi.
Rion memutuskan keluar rumah mencari udara segar, berbekal gawai Rion beranjak mengendarai motornya kemana saja, tak tentu arah asal gundahnya menghilang.
Mungkin alam raya sedang menertawakan dirinya saat ini, karena kabur layaknya pengecut. Bukannya mengucap secara langsung segala keluh agar cepat meluruh. Rion takut keluhannya membebani gadisnya, hanya itu.
Dan alam raya menertawakan lagi bagaimana gelar budak cinta melekat erat dalam belulangnya. Arion minggir di kedai biru berencana membeli kopi sebentar. Sambil menunggu pesanan, ia membuka gawai untuk mengusir bosan.
Setelah pergulatan batin tak lebih dari lima menit, Rion membuka roomchatnya dengan gadisnya.
Nala
| yonnnnn | arionnnnnnn | kenapa tidak dibalas? | tidak bosan? | kau marah? | yonnnn | ayo bicara
Rion tercekat membaca ayo bicara yang sudah ia artikan banyak hal.
Isi kepala Rion carut-marut.
| yonnn | aku kekasihmu kan?
"Tentu saja," lirih Rion.
| kalau kau memang menganggap aku kekasihmu, jadikan aku tempatmu bersandar. Aku siap menjadi pendengar untuk segala gundah yang melanda. | kau membuatku merasa tak berguna
maaf |
Hanya itu yang mampu Rion jawab. Apa ia membuat semuanya menjadi semrawut?
Tentu saja.
| astagaa | dari mana saja
Rion memutuskan untuk langsung menelpon kekasihnya.
"Halo?"
"Nala," lirih Rion.
"Aku kira kau marah! Kenapa tidak menghubungi ku?!"
Rion terkekeh mendengar suara Nala. Menebak pasti disana gadisnya berbicara dengan alis yang ditukkikan pertanda ia kesal.
"Saya tidak marah. Maaf ya, membuat khawatir."
Rion bisa mendengar gadisnya menjawab dengan deheman disebrang sana.
"Rion,"
"Ya?"
Nala mengambil jeda, tak segera mengutarakan kata-kata yang sejak tadi mengganjal di relung hatinya. Menghembus nafas perlahan. Rion yang mendengarnya sampai harap-harap cemas.
"Jadikan aku rumahmu, tempatmu berlabuhdari segala hiruk pikukyang ada dikepalamu.
Jadikan aku sandaranmu,pendengar yang selalusiap akan segala ceritamu, walau tak selalu bisa kuberi nasehat yang bergunabagimu.
Jadikan aku tempat pulang,setelah kamu lelah akan petualangpanjang yang seakan tak berujung.
Walau nanti, entah kapan, kita tak lagi bersatu, biarkan memori kitabersama, hidup dalam belulangmu, terlukis indah dalam memoriku, dan alam raya menjadi saksi bisu akan segala temu berakhir candu."
Kendaraan bermotor yang riuh diluar seakan tak berpengaruh apa-apa lagi pada fokus Arion. Fokusnya memang ke depan namun sukmanya hilang, terbang entah pergi kemana bersama lantunan kata gadisnya yang telah diucapkan dengan tenang. Rion terbuai.
Yang ia tau sekarang, ia beruntung mendapatkan Nala. Dan akan berusaha keras untuk selalu membahagiakannya selamanya, ah bukan, tapi sebisanya. Karena ia tau selamanya itu fana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
kadang manusia terlalu sibuk memikirkan akhir menyakitkan yang bahkan hanya ada dalam kepala.