RINTIK hujan berlomba-lomba menjatuhi bumi, ingin memberi tahu semesta bahwasanya langit sedang bersedih. Hawa dingin menyelimuti, menusuk kulit yang seakan merambat ke belulang yang ikut membuat semua manusia mengeluh.
Berbeda dengan Nala, wajahnya melukiskan kurva tercantik yang pernah Arion lihat. Mereka sepulang dari kerja kelompok terpaksa meneduh di salah satu halte pinggir jalan.
“Dingin?” tanya Arion.
Nala menoleh, masih dengan senyum manisnya. “Dingin, tapi gak papa. Hujan itu healing. Mandi hujan juga asik.”
Arion merasa Nala adalah satu bidadari yang Tuhan turunkan untuk alam raya, dan khusus untuknya. Hiperbolis memang, namanya juga cinta.
“Sini deketan.” Rion menarik Nala untuk duduk disebelahnya. Jemari Nala yang mungil seakan sempurna untuk memenuhi jemari Arion.
Nala masih menatap hujan dengan pandangan memuja, Rion hampir cemburu dibuatnya.
“Hujan selalu berhasil membuat seluruh beban dalam pundakku ikut meluruh. Terlihat berlebihan memang, tapi yang aku rasakan begitu,” ujar Nala dengan kekehan diakhir.
Rion mengelus pelan surai Nala. “Hujan itu bisa menjadi anugerah, namun tak jarang menjadi petaka. Tak hanya hujan sepertinya, semua yang ada di bumi pun begitu. Tapi, berpikir positif itu perlu.”
Hubungan mereka pun kalau berakhir, pasti membawa petaka bagi masing-masing.
“Saat hujan dulu, ibu pernah berkata begini,
Jadilah hujan yang membasahi bumi, untuk mendatangkan pelangi setelah ia pergi.
Jadilah hujan yang akan membuat senang para tumbuhan agar ia terus bertumbuh dan dapat menjadi tempat teduh.
Jadilah hujan yang menenangkan bukan menegangkan. Menyejukkan, bukan menyeramkan,
Jadilah hujan yang memberi tawa bukan tangis penuh petaka,
Karena, semua manusia pasti punya salah tanpa mereka sengaja,
Berbuat salah itu pasti, namun yang menjadi bekal untuk manusia di akhir nanti tetap perbuatan terpuji,
jadi, terus-teruslah berbuat baik kepada sesama manusia, tapi juga jangan jumawa, semua manusia itu perantara,” ujar Nala mantap dengan pandangan kearah hujan, tak lupa raut penuh memuja dalam binar matanya.
Rion tak kuasa menahan senyum dalam kurvanya. Sekali lagi ia merasa tak salah memilih rumah untuk tempat singgahnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.