(10) . lekang waktu

62 19 3
                                    

hayuk mulmednya di play~

bacanya pelan-pelan...



      WAKTU terus bergulir, tak pernah mengulur atau berhenti mengalir. Rembulan sedang menggantung dengan apik di atas langit, menerangi gelapnya malam juga kelamnya pikiran. Muda-mudi berlalu-lalang menghabiskan waktu, dengan tawa yang merangkai cerita, atau dengan samar tangis yang mengakhiri semua cerita manis.

      Rion mempercepat langkahnya bahkan hampir berlari mencari kekasihnya yang tiba-tiba mengajaknya bertemu di taman ini. Netranya mencari kehadiran sang terkasih.

      “Nala!” panggil Rion setelah menangkap kehadiran Nala yang berjarak lima langkah darinya. Langkahnya ia hentikan sebentar sambil membungkuk mengatur nafas.

      Tanpa Rion sadari Nala mendekat dengan raut wajah khawatir. “Ngapain pake lari segala, sih?! Jadi, capek gini, kan?!” omel Nala.

      Tak menggubris omelan Nala, Rion segera merengkuh Nala. Menghacurkan berbagai rindu yang semula membelenggu.

      “Kangen,” lirih Rion yang saat ini sudah bisa bernafas normal.

      Nala membalas rengkuhan Rion erat. “Aku juga.”

      Mereka saling merengkuh untuk beberapa saat, melupakan bahwa dunia di sekitar mereka masih berjalan, tatapan dari para pengunjung lain tak mereka pedulikan.

      “Tadi kenapa gak mau dijemput?” tanya Rion setelah melepas rengkuhannya.

      Nala menggeleng sambil tersenyum manis. “Gak papa. Mau nyari tempat duduk atau jalan-jalan keliling taman?”

      “Jalan aja, ya?”

      Nala mengangguk menyetujui.

      Sambil berjalan, Rion menautkan kedua tangan mereka. Saling mengisi kekosongan.

      Beriring, saling mengisi.

      “Yon,” panggil Nala.

      “Kenapa, Nal?” tanya Rion sambil memasang raut bertanya ke arah gadisnya.

      “Duduk disana, yuk!” ajak Nala sambil menunjuk ke arah tempat duduk yang mengarah ke jalan raya.

      Rion mengangguk. “Boleh.”



      SIBUK. Semesta selalu ribut. Sesuatu yang datang pasti akan pergi, yang singgah pasti akan berlalu. Semuanya hanya sekedar lalu-lalang.

      “Jalanan riuh,” komentar Nala.

      Rion menjawab dengan deheman.

      “Mereka selalu berlalu-lalang tanpa menetap,” lanjut Nala lagi.

      “Mereka akan menetap pada rumah mereka, Nal.” Rion menjawab sambil mengalihkan pandangannya ke arah gadisnya.

       Jeda sebentar.

       “Kalau begitu, berarti aku bukan rumahmu,” lirih Nala dengan suara tercekat. Perih mengikat seluruh belulangnya.

       “Apa, Nal?” tanya Rion yang tak begitu jelas mendengar lirihan Nala.

       Nala menatap kedua bola mata milik sang lawan yang selalu menjadi kesukaannya. “Aku bukan rumahmu.”

      “Hah?”

      Bukannya menjawab, Nala malah memandang Arion dengan raut wajah sendu.

      “Kita udah lama gak ketemu, gak usah ngomong ngawur, deh.” Arion sedikit emosi. Kepalanya mulai ribut, pikiran negatif mulai muncul.

iv. antalogi √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang