02 [REVISI]

773 59 1
                                    

Kriett!!

Jungkook berjengkit hingga kursi yang ia duduki bergerak, bersinggungan dengan lantai. Keringat membasahi pelipis dan lehernya. Juga, nafas terengah seperti baru saja berlari cepat. Jeon Jungkook, menolehkan wajahnya pada seseorang yang kini menatapnya dengan bingung. Netranya mengerjap lugu, sedangkan tangan kanannya memegang garpu yang menusuk potongan apel pada empat ujungnya. Suapan itu terhenti di udara karena Jungkook terbangun tiba-tiba, dari tidurnya dalam posisi duduk dan kepala terbenam pada lipatan tangan tadi. Gadis itu menurunkan kembali garpunya.

Lantas bertanya, “Ada apa, Tuan?”

Jeon Jungkook menggeleng pelan. Telapak tangan besarnya mengusap keringat di pelipis. Jantungnya masih berdegub kencang karena mimpi itu
dan ia harus menetralkan nafasnya. Lalisa memperhatikannya, lantas mengambil segelas air putih yang masih utuh dan menyodorkannya pada Jungkook.

“Minum dulu, Tuan." Jungkook tersenyum. Ia menggeleng dan membuat gadis itu meletakkan
kembali gelasnya ke tempat semula.

"Kau sudah bangun dari tadi?" Tanya Jungkook setelah membenarkan posisi duduknya kembali. Gadis itu mengangguk, menjawab pertanyaan Jungkook. "aku lapar sekali. Dan hanya ada buah. Tuan, apa di sini hanya ada apel, pisang, dan jeruk? Aku ingin cherry." Gadis itu mempout. Ia menyuapkan kembali potongan apel yang tertunda untuk masuk ke dalam perutnya.

Mengambil potongan-potongan buah lainnya dan mengunyahnya dalam satu waktu. Membuat pipinya menggembung saat memproses buah-buahan itu. Jungkook terkekeh, “Kau mau cherry?” sang gadis mengangguk. Dan Jungkook tak tahan untuk tidak mencubit pipinya.

"Aku akan belikan untukmu, okay? Sekarang makan saja apa yang ada" Dan meski rautnya cemberut, gadis itu tetap menurut. "Baiklah, tapi janji belikan ya?"

"Iya."

Jungkook kira gadis itu benar-benar akan menunggunya nanti. Tapi setelah satu jam berselang, gadis itu kembali merengek.

"Tuan, tak bisakah kau belikan sekarang?" dengan nada memohon dan bibir bergetar yang seolah siap menangis kalau saja Jungkook tak mengabulkan apa yang diinginkannya.

Lelaki itu tak habis pikir, bagaimana gadis itu benar-benar menjadi sangat polos dan lugu. Menggemaskan
juga.

"Ya, okay. Aku akan belikan sekarang. Kau menunggu sebentar, ya? Chaeyoung akan segera sampai lima menit lagi. Jadi, kau tidak akan sendirian."

Mendengar bahwa sahabatnya akan datang, tentu Lisa merasa senang. Jungkook menceritakan semuanya, sejak gadis itu terbangun dari koma. Tentang kehidupannya sebelum kecelakaan. Kehidupan yang tak sepenuhnya gadis itu tahu bahwa sebelumnya, ia adalah orang lain. Karena yang ia tahu sekarang,
dirinya adalah Lalisa. Lalisa, tunangan Jungkook. Dan ia akan menikah dengan lelaki itu setelah keluar dari rumah sakit. Ia memang tak mengingat apapun, tetapi Jungkook sudah membekali dirinya banyak hal. Jadi, gadis itu tak merasa sendiri dan asing. Meskipun ia masih tak mengerti beberapa.

"Bawakan yang banyak, ya!" gadis yang masih sangat menyukai cherry. Gadis menggemaskan yang akan selalu Jungkook jaga. Lelaki itu tersenyum, mengusap lembut surai Lalisa. Lalu mengangguk dan pergi setelah mengatakan bahwa ia akan segera kembali. Tetapi, menunggu bukanlah pilihan yang bagus. Lalisa cepat merasa bosan. Apalagi Chaeyoung tak kunjung datang. Jadi, ia memilih turun dari bankarnya. Membawa tiang infus dan mulai keluar dari ruangan yang telah mengurungnya sekian lama. Sejenak, gadis itu berhenti di ambang pintu. Merasakan suasana berbeda bahkan hanya dengan melihat keadaan luar. Ia tersenyum lebar, membayangkan pasti menyenangkan bisa berjalan-jalan sebentar.

Tungkainya melangkah perlahan, tiang infusnya pun bergerak seiring dengan langkah kakinya. Sudah sekitar lima belas menit lebih ia berkeliling. Lalisa bahkan tak memikirkan kalau mungkin saja Jungkook atau Chaeyoung akan panik saat tak menemukannya di kamar rawat. Gadis itu hanya ingin berkeliling sebentar. Ia bisa lihat, banyak tenaga medis berlalu lalang, juga pasien rawat jalan maupun rawat inap yang tertangkap netranya. Oh, tentu saja. Ini rumah sakit. Tak mungkin kalau dia justru menemukan orang memainkan acrobat bukan?

Tetapi apa yang dilihatnya beberapa sekon berikutnya, membuatnya melangkah cepat ke objek penglihatannya. Karena bukan seperti apa yang ia lihat sebelumnya, dimana semua orang bersikap ramah dan
hangat, di sana, tepatnya di depan ruang mayat, dua orang lelaki tengah berselisih. Dimana salah satu dari
keduanya, mencengkram kerah satu yang lainnya. Dia terus meneriaki lelaki dalam cengkramannya, memaki dan terus mengumpat padanya. Tidak tahu apa yang mendorong Lalisa untuk melangkah mendekat. Lebih
tak tahu lagi kala gadis itu justru ikut campur dengan menyela sang lelaki yang diselimuti emosi itu.

"Berhenti! Mengapa kau mencekiknya? Kalau dia mati bagaimana?" kalimat yang terlontar dengan raut polos itu berhasil mengalihkan atensi dua lelaki itu. Hanya sekilas, karena satu dari mereka kembali mencengkram kuat kerah lelaki yang lain.

"Biarkan saja dia mati. Biar dia terbaring di sana sekalian! Menyusul kekasihku." Kalimat itu menjadi pengantar sebelum lelaki yang semula mencengkram, kini melayangkan pukulan telak dan berhasil membuat lawannya terjatuh begitu saja. Lisa memekik, lalu mendekat untuk melerai. Karena banyaknya tenaga medis di sekitar mereka tak mampu barang untuk memisahkan dua lelaki itu sejak tadi.

"Berhenti! Dia akan terluka."
“Hey, jangan melukainya! Nanti dia kesakitan."

Lalisa terus saja mengoceh. Karena dalam pikirannya, terluka itu tidak enak. Seperti dia, yang harus minum obat setiap hari, tidak bisa kemana-mana, berjalan pun harus membawa tiang infus. Sungguh tak nyaman!Maka dari itu, Lisa mencegah kalau-kalau salah satu dari mereka akan berakhir menjadi pasien juga.

Namun lelaki itu tak mendengarnya. Justru mendorong tubuh kurus Lisa hingga membentur tembok di sana. Punggung tangan Lisa terluka, akibat infus yang terlepas dengan paksa. Darah keluar dari sana. Dan beberapa perawat bergegas untuk membantu.

Tapi, belum sampai perawat-perawat itu menolongnya, gadis itu sudah lebih dulu mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar para perawat itu tetap ditempatnya. Kepala yang tertunduk itu membuat beberapa perawat cemas, namun tak bisa mendekat karena gadis itu mencegah mereka dengan tegas melalui telapak tangannya yang terbuka. Perlahan, ia mendongak. Menatap lelaki tadi—yang mendorongnya begitu kuat—dengan tatapan tajam. Lelaki itu tengah menatapnya juga, berniat tak memusingkan apa akibat dari perbuatannya beberapa menit lalu.

Tetapi, kala seringaian si gadis terukir, lelaki itu mengernyit, heran. Apalagi dengan ucapannya.

"Kau main-main denganku."

:+:
© 2020 - moilulu
REVISI
.
to be continued, MOIS!
Tinggalkan komen? Thank you,

No 'One' Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang