Pada suatu Sabtu sore yang berawan, bintang-bintang nyaris tidak bersinar. Para jangkrik mulai keluar dari persembunyian mereka dan gesekan sayap mereka menjelma menjadi musik sendu di antara daun-daun jingga yang berguguran. Moira dan Neesa duduk di kafe yang remang-remang, dengan dua buku catatan dan dua laptop di depan mereka, sambil menyeruput kopi panas. Ada lantunan musik yang melantun sayup-sayup di latar belakang.
"Mari mulai, Moira. Ayo peras otak dan bikin daftar segala hal yang ingin kamu beri tahu Ir. Kinoya supaya aku bisa memahami lebih baik bagaimana aku bisa membantu kamu menulis email untuk beliau, " ujar Neesa dengan sabar.
"Baiklah, kurasa aku ingin mulai dari mengabari beliau tentang kondisi gangguan keterlambatan perkembangan yang aku idap, sehingga saat bertemu aku nanti beliau tidak kaget. Dari situ, aku ingin menanyai beliau apa saja jenis-jenis pekerjaan yang bisa beliau sarankan untuk calon mahasiswa yang ingin memenangkan posisi asisten peneliti di kantor beliau. Masalahku adalah aku tidak yakin aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Maksudku, aku bisa saja sih jadi pengantar pizza atau pengasuh anak kecil, tapi pastinya aku tidak akan dibayar mahal untuk pekerjaan tersebut dan itu tidak akan membuat orang kagum, kamu paham kan?" Moira langsung berbicara tepat sasaran.
"Aku paham. Sebetulnya, kita bisa saja mencari info lowongan kerja yang tersedia di daerah kita kalau kita mau lihat-lihat online, tapi aku rasa memang lebih bijaksana utuk meminta pendapat Ir. Kinoya juga." Neesa mengelus dagu. "Jadi, tentang gangguan perkembanganmu. Lebih khususnya, apa yang ingin kamu sampaikan pada beliau? Bahwa kamu punya masalah berbaur di lingkup sosial dan juga punya masalah dengan beberapa rangsangan sensori, misalnya kamu memproses rasa sakit dengan sistem syaraf yang agak berbeda dari orang kebanyakan? Bahwa kamu sering dianggap lamban, tulalit, dan telat mikir karena butuh waktu lama menjawab pertanyaan tiba-tiba dari guru? Bahwa kamu punya kemampuan kognitif yang tidak sama dengan orang rata-rata?" Neesa melanjutkan membuat daftar.
"Iya, semua yang kamu sebut itu, tapi pada dasarnya aku ingin beliau tahu aku tetap saja punya bakat tersendiri serta kegemaran dan ketertarikan tertentu yang tidak boleh diremehkan hanya karena tertutupi oleh keterbatasanku. Aku juga ingin bertanya kalau-kalau beliau sudah pernah punya pengalaman mengajar mahasiswa yang mengidap sindroma Down atau punya diagnosis spektrum gangguan autisme atau semacamnya. Di samping itu aku ingin tahu apa yang sudah beliau lakukan untuk mencegah dan menangani diskriminasi atau perlakuan tidak adil di kelasnya karena aku tidak mau lagi diperlakukan semena-mena atau menjadi korban kekerasan dan dimanfaatkan," jelas Moira.
Dua sepupu itu bekerja dengan giat hingga kafe hampir tutup, melempar ide-ide satu sama lain, mengetik dan mengetik ulang beberapa kalimat untuk menyempurnakan e-mail yang mereka tulis bersama. Mereka memesan beberapa cangkir kopi lagi untuk menemani mereka dan ibu-ibu paruh baya yang juga pemilik kafe bersimpati pada mereka dan memberi mereka seloyang gratis brownies kukus keju. Akhirnya, inilah isi dari e-mail yang mereka kirimkan:
Yang terhormat Ir. Lee Kinoya,
Nama saya Moira Johnson dan saya mendengar tentang penelitian Anda dari sepupu saya Neesa, yang sempat bekerja dengan salah satu mahasiswa S2 Anda di Universitas Anggrek Biru musim panas yang lalu sebagai bagian dari program magang yang dicanangkan oleh SMAnya. Saya tertarik mendengar lebih lanjut mengenai penelitian yang sudah Anda lakukan untuk mempelajari spesies hibrida yang terancam punah, para Gaburs yang kuat, dan saya ingin tahu apakah Anda bersedia memberi saya keterangan tentang apa yang sebetulnya Anda cari ketika Anda mengatakan sedang butuh asisten penelitian yang juga seorang mahasiswa asing tahun pertama untuk pertukaran budaya.
Saya mengidap gangguan keterlambatan perkembangan yang berdampak pada cara saya belajar dan menyerap ilmu. Jika saya diterima oleh Anggrek Biru dan mengikuti beberapa kelas Anda maka bisa jadi Anda dan saya harus bekerja berdampingan untuk menyusun strategi agar perkuliahan saya berjalan lancar, tapi saya percaya saya punya hak diperlakukan secara adil dalam proses pendaftaran. Neesa memberitahu saya bahwa Anda beserta segenap jajaran panitia penerimaan mahasiswa baru lebih menyukai calon mahasiswa yang sudah punya pengalaman kerja, namun sayangnya saat ini saya belum pernah bekerja dan saya mencari pekerjaan yang realistis yang bisa dikerjakan orang dengan disabilitas seperti saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Harapan
Science FictionThe translated Indonesian version of "Looking for Hope" (Versi terjemahan Bahasa Indonesia dari novel pertama saya) Setelah kota-kota besar tenggelam ke dasar lautan di akhir abad 21, para penghuni Bumi yang terkaya kabur dan mendirikan koloni-kolon...