Catatan penulis: bab ini berisi pemikiran saya mengenai seperti apa hubungan yang sehat dan tidak sehat, seperti apa pasangan harus memberi dan menerima dalam sebuah hubungan, dan bagaimana sesorang tidak diwajibkan menerima kembali seseorang yang telah berbuat kasar padanya hanya karena orang itu sudah minta maaf setelah ditolak. Bab ini juga mengandung referensi puisi-puisi karya almarhum pujangga dan sastrawan terkenal, Sapardi Djoko Damono. Benar bahwa cerita ini latarnya di masa depan, namun saya pikir karya-karya beliau tidak akan pernah usang dimakan waktu. Pikirkan saja, jika Chairil Anwar bisa mengakatakan "ingin hidup seribu tahun lagi", maka tidak ada alasan untuk karya-karya Sapardi untuk tidak menjadi kekal abadi. Saya ingin menunjukkan sisi Indonesia dari Nardho. Nantinya kita juga akan elihat sisi Papua Nuigini darinya (saya harus cari tahu lebih banyak tentang ini karena saya sendiri belum pernah ke sana). Omong-omong, suku Pohon Kecil yang disebutkan di bab ini terinspirasi sedikit oleh suku yang sungguh ada di Indonesia, yaitu suku Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Terakhir, bab ini akan lebih menyenangkan untuk dibaca jika kalian lebih dahulu mendengarkan lagu Jar of Hearts.
Moira membiarkan kepalanya tetap bersandar pada dada Nardho sebelum akhirnya dia melepaskan diri dari pelukan kekasihnya. Dua anak muda itu membungkam, masih berusaha memahami bahwa mereka sekarang sudah lebih dari sekedar teman biasa.
"Nardho, aku tidak tahu banyak tentang agama, tapi sejak kapan kamu menjadi orang beragama?"
"Aku sudah menjadi penganut kepercayaan Katolik sejak dulu, hanya saja aku menyimpannya untuk diri sendiri. Belakangan ini sangat jarang orang yang secara terbuka memeluk agama tertentu, kamu tahu? Lagipula, aku tidak punya hak mengatur hidup orang lain. Aku hanya ingin mencintai dan dicintai, itu sebabnya aku senang bisa menjalin dan mengeksplorasi hubungan baru denganmu. Aku ingin tahu apa arti cinta yang sesungguhnya, bagaimana cinta dimulai, bagaimana cinta mekar, dan bagaimana cinta membuat kita merasa diterima."
"Bagaimana kamu tahu saat kamu telah jatuh cinta pada seseorang? Apa itu cinta? Bagaimana kamu menunjukkan rasa cinta?" Moira berpikir keras, tidak yakin apa yang bisa diharapakannya dari Nardho setelah mereka sekarang resmi menjadi sepasang kekasih. Nardho berpikir panjang dan akhirnya mengatakan ada banyak jenis cinta, misalnya cinta pada saudara seperti yang dia rasakan untuk Nardhia, cinta pada orangtua seperti yang dia rasakan untuk Mama di rumah, dan cinta pada sosok yang dihormati, seperti yang dia rasakan untuk Bunda Maria. Namun demikian, dia belum tahu apa sebutan untuk perasaan yang dia punya untuk Moira. Yang dia tahu, perasannya lebih dari sekedar perasaan berbunga-bunga sementara dan hanya itu yang dia yakini untuk saat ini. Moira mengangguk dan memandanginya dengan penuh kekaguman. Nardho balik mengangguk dengan kelembutan yang terpancar di tatapan matanya.
"Jika suatu hari nanti aku benar-benar jatuh cinta padamu, Moira, aku ingin mencintaimu secara sederhana. Aku ingin melakukannya dengan sederhana, sesederhana kata yang tak terucapkan oleh kayu pada api yang membuatnya terbakar jadi abu." Nardho menghela napas dan di wajahnya terbersit secercah rasa ingin memiliki sesuatu yang dirasanya masih jauh.
"Betapa puitis. Aku tidak tahu kamu bisa mengarang puisis. Tapi apa makna bait-bait itu?"
"Aku bukan penulis puisi, aku meminjam baris-baris itu dari seorang pujangga yang namanya nyaris terlupakan, seorang pujangga yang aku tahu dari cerita alkisah para moyangku. Apa yang kumaksud adalah ketika akhirnya aku jatuh cinta padamu nanti, aku akan rela melindungimu, menjagamu, dan mengorbankan beberapa hal hanya untuk bersamamu karena bila saat itu tiba aku rasa kamu akan menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku dan aku rasa nantinya aku tidak akan bisa membayangkan hidup tanpamu. Tapi untuk saat ini, mari kita nikmati hubungan kita dan biarkanlah mengalir."
"Kita bakal beritahu yang lain atau cukup kita berdua saja yang tahu?"
"Oh, kita bakal beritahu yang lain. Tapi khusus Nardhia, jangan dulu. Oh iya, aku tahu kembaranku mungkin sudah bilang ke kamu kalau aku punya sumbu pendek dan bakal berantem untuk membela dia kalau aku diprovokasi, tapi sejujurnya karena kita sekarang sudah kuliah ya aku tidak bisa selalu jadi pahlawan. Aku tahu dia akan selalu memerlukan bantuanku, tapi sudah saatnya dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku pasti akan mengulurkan tangan jika diperlukan, karena bagaimana pun dia tetap kembaranku, tapi aku mau dia belajar memecahkan urusannya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Harapan
Science FictionThe translated Indonesian version of "Looking for Hope" (Versi terjemahan Bahasa Indonesia dari novel pertama saya) Setelah kota-kota besar tenggelam ke dasar lautan di akhir abad 21, para penghuni Bumi yang terkaya kabur dan mendirikan koloni-kolon...