Setelah selesai berlatih pandu sorak, Neesa membantu Moira menyiapkan segala keperluan panggilan video antar planet dan memastikan koneksi internet terjaga stabil supaya percakapannya dengan si kembar dapat berjalan lancar. Moira memasukkan kata kunci untuk bergabung dengan pertemuan virtual yang disiapkan oleh Nardho dan tidak lama kemudian beberapa nama muncul di layar, termasuk kembarannya Nardho (Nardhia) dan teman Moira dari perpustakaan, Vannie. Neesa mengangguk ke Moira dan meninggalkan kamar untuk memberi sepupunya privasi
"Hai Moira! Untung ya pertemuan kita berlangsung tepat waktu. Tadinya aku khawatir sinyal internet di tempatku lemah, tapi ternyata sinyal di sini cukup kuat. Apa kabarmu?" Nardho menyapa dengan bersemangat, suaranya berat namun menenangkan. Moira yang takjub bergumam Nardho pasti bisa menjadi penyanyi yang baik.
"Ha-ha, kamu beneran mikir gitu?" Nardho menyeringai mendengar pemikiran Moira. "Aku tidak terlalu suka menyanyi, aku lebih suka main gitar elektrik dan kecapi, tapi Nardhia suka nyanyi kok! Dia selalu nyanyi kalau kami sekeluarga sedang dalam perjalanan jauh atau ya sebenarnya kapan saja dia bisa nyanyi sih. Dari kecil aku sudah terbiasa mendengarkan dia bikin-bikin lagu aneh sendiri, tapi memang lagunya lumayan sih," kata Nardho sembari menyenandungkan suatu lagu asing.
"Aw, Nardho, kamu bikin aku kedengaran kayak anak kecil! Tapi iya, aku memang suka bikin lagu sendiri. Mungkin saat kita ketemuan langsung nanti aku bakal ajarin kamu untuk nyanyi lagu-lagu gubahanku, Moira. Sekarang, mari kita fokus ke tugasnya Vannie!" Nardhia buka suara, lalu mengganti penampilan layar untuk menampakkan suatu folder di komputernya. Rahang Vannie terbuka lebar saat dia melihat isi folder tersebut adalah potongan-potongan berita dan wawancara dari beberapa abad yang lalu, lengkap dengan foto-foto yang diberi catatan kaki dan postingan dari media sosial.
"Kamu berdua ngerjain tugas aku? Tapi harusnya nggak begini. Aku nggak mau pakai cara curang!" Vannie panik. Lewat kamera web, Moira bisa melihat Nardho bertukar pandang dengan Nardhia, masing-masing punya kode yang hanya dimengerti sesama anak kembar. Sepertinya mereka berdua memang sudah merencanakan ini.
"Nggak lah, kami tidak akan membiarkan kamu main curang. Kami cuma berniat membagi referensi dan data, tapi ya kamu kerjain sendiri tuh tugas kamu! Mendiang bibi buyut kami dari pihak papa dan suaminya bibi buyut dulu masih hidup pas ada Revolusi Disabilitas dan mereka menyaksikan sendiri bagaimana peristiwa-peristiwa bersejarah meletus. Sementara itu paman buyut kami dulunya jurnalis dan penyiar berita, beliau meninggalkan sesuatu yang pada dasarnya mirip buku harian. Buku harian ini, yang isinya koleksi potongan koran, diwariskan turun-temurun seperti harta berharga di keluarga kami." Nardhia menjelaskan dan dikonfirmasi oleh Nardho.
"Oh wow, itu keren banget, nanti aku baca ya buku hariannya. Aku mau lihat foto-foto! Coba kita tanya Moira apakah dia bisa mengubah foto-foto ini menjadi lukisan!" Vannie terkagum-kagum.
Nardho mengirimkan salinan foto-foto ke Moira, kemudian gadis itu memperhatikan semua foto satu per satu. Dia akhirnya memilih tiga foto dari mungkin lima atau enam puluh foto yang ada dan kemudian bertanya ke semua yang hadir tentang pendapat mereka kalau tiga foto tersebut diubah menjadi lukisan minyak. Eh, nanti dulu, kenapa Vannie butuh lukisan minyak?
"Sekolahku akan memamerkan semua tugas murid-murid di suatu museum dan aku rasa museum tersebut jenis pamerannya mirip-mirip galeri kesenian, jadi aku rasa kita bisa sekali dayung dua pulau terlewati, sambil berenang minum air. Aku bisa belajar tentang sejarah umum di tata surya kita dan kamu akan mendapatkan pengakuan atas karya-karyamu! Hei, aku menguping pembicaraan guru-guruku dan kata mereka sekolah bakal undang perusahaan siaran besar untuk meliput acara ini, siapa tahu kamu bisa menjadi terkenal lho!" Vannie berkata dengan senyum bangga yang menunjukkan bahwa dia merasa dirinya jenius. Moira merona merah karena dia sendiri tidak pernah berpikiran karyanya bisa tergantung di museum, tapi dia tetap bilang terima kasih ke Vannie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Harapan
Science FictionThe translated Indonesian version of "Looking for Hope" (Versi terjemahan Bahasa Indonesia dari novel pertama saya) Setelah kota-kota besar tenggelam ke dasar lautan di akhir abad 21, para penghuni Bumi yang terkaya kabur dan mendirikan koloni-kolon...