Catatan penulis: terima kasih banyak sudah bersedia membaca buku ini hingga akhir. Saya sayang semua pembaca yang sudah menyemangati saya. Lagu tema yang cocok untuk bagian terakhir ini adalah "What If" yang dibawakan oleh Five for Fighting. Liriknya bisa dimengerti secara harfiah (kalian akan tahu selesai membaca epilog ini sampai habis) tapi sebenarnya saya memilih lagu itu karena lagu itu berpesan tentang bagaimana kita harus bisa melihat berbagai permasalahan dari sudut pandang orang lain, itulah yang Moira coba lakukan dengan segala keanehan dan perbedaan di lingkungan pergaulannya dengan teman-teman sekampus dan seangkatan. Lagu lain yang serupa mungkin "100 Years" yang dibawakan oleh penyanyi yang sama. Untuk lagu satu itu, pesannya sepertinya paling pantas untuk Nardho, walau sebenarnya semua tokoh juga bisa tergambarkan oleh lirik lagunya yang bicara soal bagaimana menjadi dewasa namun juga bagimana caranya menikmati segala momen yang ada dan mensyukuri hal-hal kecil dalam hidup ini. Selamat membaca dan terima kasih sekali lagi karena sudah membaca. Sampai jumpa di buku berikutnya.
Malam menjelang tahun baru 2664
Ini Nardho lagi. Kalian kangen aku, nggak? Aku terlalu sibuk dan tidak sempat merekam apa pun beberapa hari belakangan ini namun setelah riuh rendah masa liburan Natal berakhir akhirnya aku bisa menemukan waktu untuk sendirian saja. Hm, tidak benar-benar sendirian. Moira selalu ada di sampingku, tentu saja. Suami macam apa aku jika aku sampai tega tidak menemaninya saat dia sakit?
Di rekamanku yang lalu aku sengaja membiarkan penyakit Moira tidak kusebutkan dengan jelas, tapi kalau kamu yang mendengarkan kebetulan penasaran, ini jawabannya: sekitar lima atau enam tahun yang lalu, Moira mulai tidak bisa mengontrol gerakan di bagian kanan tubuhnya. Terkadang tangannya gemetar tanpa sebab atau sama sekali tidak bisa digerakkan. Terkadang getaran di tangannya begitu kencang sampai suatu hari dia tidak lagi bisa menulis. Aku membawanya menemui dokter ahli syaraf dan istriku itu didiagnosis terkena tremor. Namun, aku curiga ada penjelasan yang lebih lanjut karena emosi dia juga kacau balau. Terkadang dia marah padaku padahal aku tidak salah apa-apa dan terkadang dia merasa ketakutan di kamar kami walau tidak ada apa-apa yang mengerikan di kamar. Dia juga menjadi lebih sering lupa rencana-rencana yang dia punya, misalnya rencana pergi ke museum bersama Vannie, rencana nonton pertujukan sendratari dengan Rain, atau rencana makan malam di rumah Nardhia dan Tony.
Setelah kami bolak-balik ke beberapa dokter yang berbeda, tim medis sampai pada suatu kesimpulan: Moira terserang penyakit Huntington, yaitu penyakit yang mempengaruhi kemampuan kognitif dan kemampuan menyimpan dan mengolah memori tapi juga bisa mempengaruhi fisik seseorang dengan membuatnya setengah lumpuh atau sulit untuk menggerakkan tungkai tangan dan kaki. Pada akhirnya di stadium lanjut nanti, Moira bisa saja hanya akan menjadi tubuh tanpa kepribadian—suatu cangkang kosong yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Jika itu terjadi, harus ada yang selalu berada di dekatnya dan memastikan dia tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri.
Sebelum Moira sakit, aku bekerja sebagai dosen musik paruh waktu di Anggrek Biru namun setelah aku mendengar prognosis dokter bahwa Moira tidak akan membaik aku memutuskan untuk berhenti mengajar dan hanya menulis buku teori musik dan membantu sesama dosen musik mengedit makalah riset mereka. Terkadang keponakan kami Izzy, anak perempuan Nardhia dan Tony, menjenguk kami dan membawa buah-buahan untuk Moira. Kak Johan dan Kak Kenta kadang juga menengok. Moira tidak selalu mengenali mereka tapi aku amati dia selalu merasa senang ketika mereka datang dan melihat dia senang membuatku ikut senang.
Sekarang setelah enam atau lima tahun berlalu, keadaan Moira memburuk. Ada hari-hari di mana dia tidak lagi mengenaliku sebagai Nardho. Terkadang dia bingung kenapa aku ada di kamar tapi dia tetap memperbolehkanku menemaninya dan memegang tangannya. Dia mengira aku salah satu perawat yang kami sewa untuk menjaganya. Terkadang dia ingat aku siapa walau dia tidak bisa mengingat namaku. Pada hari-hari di mana dia bisa mengingat hubungannya denganku, dia akan meminta aku memainkan gitar untuknya atau menyikat rambutnya. Moira selalu mengepang rambut tapi dia senang kalau aku melepas kepangannya dan mulai menyisir rambutnya. Setiap kali aku melakukan itu, aku ingat suatu sore di pantai di Bukit Emas ketika kami masih remaja. Sore itu pertama kalinya aku melihat Moira dengan rambut tidak dikepang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Harapan
Science FictionThe translated Indonesian version of "Looking for Hope" (Versi terjemahan Bahasa Indonesia dari novel pertama saya) Setelah kota-kota besar tenggelam ke dasar lautan di akhir abad 21, para penghuni Bumi yang terkaya kabur dan mendirikan koloni-kolon...