Kreaaaak.
Mahesa membuka mata. Dalam kegelapan kamarnya dia tidak bergerak, menajamkan telinga, berusaha mengetahui suara atau lebih tepatnya siapa yang telah membangunkannya. Itu adalah suara pintu dibuka. Rumah tua yang dibiarkan lama kosong ini membuat pintu dan jendela pun susah dibuka tanpa mengeluarkan suara Menghela napas pelan, Mahesa kembali memejamkan mata.
"Psssst."
Dengan sigap Mahesa meraih belati yang berada di bawah bantal, turun dari tempat tidur dengan hati-hati dan dengan mengendap-endap melangkahkan kaki menuju pintu. Dia tidak membukanya, hanya berdiri di sebelahnya dengan tangan menggenggam erat gagang belati, siap untuk mengeksekusi siapa pun yang mengganggunya.
Menempati rumah kecil yang jauh dari peradaban manusia dan keramaian kota bukan suatu hal yang menakutkan baginya, toh dia tinggal di dalam hutan yang gelap selama masa pendudukan Jepang, hanya saja segala suara yang tidak diketahui sumbernya menjadi terdengar mencurigakan.
Mahesa menajamkan pendengaran lagi. Dengan posisinya sekarang, dia bisa mendengar lebih baik apa yang terjadi di luar kamarnya. Tidak ada suara langkah kaki atau napas yang memburu, yang ada hanya … kekehan teredam seseorang. Dua detik kemudian, pintu kamarnya dibuka dan dua orang berhambur masuk.
"Hesa!!!" seru mereka bersamaan, dengan tangan mengacung ke udara, berlari ke tempat tidur. Ketika dilihat tempat tidur kosong, mereka kebingungan sendiri. "Loh?"
"Dasar amatir," Mahesa bersuara, "kalau mau menjaili seseorang, lakukan lebih baik."
Dua orang penyelinap berbalik badan. Tatang tertawa. Dia berbadan tinggi, kurus, dengan wajah lonjong, pipi tirus, dan kepala dihiasi rambut keriting tebal membuatnya nampak seperti brokoli. Yang satunya lagi adalah Puji, dia hanya terkekeh malu. Kebalikan dari Tatang, badan Puji pendek, sedikit berisi, rambut lurus disisir rapi ke samping. Dengan penampilannya yang rapi, bahkan baju pun tidak sekusut teman lainnya, biasanya orang-orang menduga dia anak orang kaya, juragan teh atau mandor tukang korupsi, padahal nyatanya dia hanya anak keluarga petani biasa.
"Sudah kubilang, kan, menjaili Hesa tidak seru."
Hesa mengacungkan belati di tangannya. "Hooh. Tidak seru kalau kalian mati."
"Haish. Haish. Haish." Tatang mendatangi Mahesa, menurunkan tangan berbelati yang masih terangkat. "Orang-orang Nippon itu sudah pergi, kenapa kau masih tidur membawa senjata."
Mahesa tidak menjawab. Dia tidak yakin akan menghilangkan kebiasaan tidur ditemani senjata dengan segera.
Mahesa menarik tangannya dari Tatang, menyimpan belati dalam sarungnya. "Ada apa kalian kemari?"
"Ah. Iya. Kami mau mengajakmu ronda," Puji menjawab.
"Bukankah giliranku besok?"
"Besok gantian kami yang akan menemanimu."
Mahesa mengambil baju yang tersampir di kursi. "Dan kenapa harus begitu?"
Andri melemparkan tatapan ragu pada Tatang yang dibalas pemuda itu dengan helaan napas. "Adik kecil ini ketakutan sama hantu dan aku tidak cukup berani menjadi tempatnya berlindung."
"Aku bukan anak kecil.*
Mahesa yang telah selesai memakai celana panjang mendengkuskan tawa. "Sudah kubilang hantu itu tidak ada."
"Ada!" Puji protes. "Dua hari lalu aku melihatnya."
"Kalau ada, kenapa aku tidak pernah melihatnya?"
"Nah, makanya adik ini mengusulkan untuk membawamu serta saat giliran ronda mengingat kuntilanak itu tidak pernah menampakkan dirinya padamu."
Mahesa mendecak. "Hantu tidak tahu diri. Sudah jadi hantu tetap sok pilih kasih segala."
"Kau tahu, kuntilanak biasanya suka menampakkan diri pada lelaki manis, mendekati mereka biar bisa dibawa ke liang kubur untuk menemaninya."
Tatang dan Mahesa kompak menoleh ke arah Puji. Puji gelagapan, wajahnya memerah, mulut terbuka dan tertutup seperti ikan yang bernafas dalam air. Dia memandang Tatang dan Mahesa bergantian sebelum menghentakkan kaki pergi dari sana. Tatang tertawa terbahak-bahak sedangkan Mahesa menggelengkan kepala.
"Anak yang malang."
Tatang seolah tersinggung dengan cetusan Mahesa. "Dia lucu tahu."
"Iya, gara-gara kau dia jadi malang," ujar Mahesa tak acuh sembari melangkah keluar dari kamar. Tatang mengejarnya.
"Hei. Apa maksudnya itu?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Langit Memerah
Historical FictionPencarian, penemuan, pengorbanan, dan perpisahan. Semua itu terjadi sebelum langit memerah di bumi Bandung. ©jealoucy2020