Sophia melihat keluar jendela, menyaksikan perkelahian antara beberapa pemuda pribumi dan pemuda Belanda. Dia baru kali ini menyaksikannya langsung, tetapi menurut teman-temannya hal seperti ini sudah sering terjadi. Mereka mengeluh, tidak terima orang-orang pribumi bertindak sesuka hati, bersikap sombong, dan tidak lagi menurut apa kata mereka. Sophia hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar tamu-tamu tak diundang yang tidak tau diri. Sudah mendiami rumah orang, masih saja minta diperlakuakan seperti raja. Sepertinya hidup di pengasingan tidak membuat mereka merenung dengan dalam.
Sophia menghela nafas, menghabiskan es krimnya, lalu keluar dari kedai kecil milik keluarga temannya. Sepertinya perkelahian itu semakin kacau. Selagi berjalan menjauh, dia tetap menoleh ke keributan yang terjadi, setengah berharap melihat sosok familiar di sana karena dia pernah melihatnya bersama Tatang yang sekarang sedang menghalau serangan Andrew. Sialnya, selagi masih melihat ke belakang, sebuah batu melayang ke arahnya, datang entah dari mana. Sophia tidak sempat menghindar, alhasil batu itu mengenai keningnya.
"Awh!" Sophia langsung menangkupkan tangannya pada dahinya yang sakit, merasakan basah cairan keluar dari sana. "Ah. Sial."
"Dasar budak tidak tahu diri! Sudah untung kami membiarkanmu hidup!"
"Dasar kompeni anjing. Sudah diusir tetap saja mengakui rumah majikan sebagai rumah sendiri."
Sophia menatap marah pada kerumunan pemuda yang berkelahi sambil beradu mulut, macam pertengkaran perempuan saja.
"Jangan bermimpi jadi majikan. Sekali budak akan tetap menjadi budak."
Sophia ingin sekali mendatangi mereka dan memukul kepala mereka satu persatu. Sayangnya perkelahian itu semakin melibatkan banyak orang, semakin kacau. Kenapa, sih, kita tidak bisa hidup berdampingan dengan damai? Dasar manusia-manusia keras kepala. Maunya menang semua.
Sepanjang perjalanan Sophia menggerutu, mengabaikan pertanyaan khawatir dari orang-orang yang melihat kondisinya. Karena dia berjalan sambil menunduk, dia tidak menyadari bahwa dia sudah salah jalan. Bukannya pulang, jalan itu malah membawanya ke pasar rakyat yang mulai sepi. Ketika akhirnya sadar, dia mengutuk diri sendiri dan semua orang yang terlibat dalam perkelahian tadi.
Sophia menghela nafas, melepas tangan yang sedari tadi menempel di dahi, kotor penuh darah. Menoleh ke kanan, dua bangunan rumah bordir berdiri, Ich Liebe Dich (ILD) dan Pagar Ayu, yang walau masih sore pengunjungnya sudah mondar-mandir keluar dan masuk kedua bangunan itu.
Dia memiliki seorang teman di ILD, tapi bagaimana kalau Itjhe sedang melayani pelanggan? Nnanti dia dikira pelacur juga dan digoda oleh lelaki-lelaki hidung belang.
Sophia menoleh ke arah lain, di mana pasar masih menunjukkan aktivitas jual belinya walau sudah sepi, tapi dia tidak tahu apakah ada penjual di sana yang memiliki air bersih untuk mencuci lukanya.
Sophia menghela nafas lagi namun, tiba-tiba sebuah tangan meraih pergelangan tangannya, membuat nafasnya tercekat karena terkejut.
"Tidak baik anak gadis sendirian di sini."
Sophia menghembuskan nafas lega dan menurut saja ditarik dari sana mendengar suara familiar itu. "Aku cuma mau numpang cuci tangan."
"Memangnya di rumahmu tidak ada air sampai mau cuci tangan di tempat seperti ini? Atau kamu bisa numpang di kafe, atau resto langgananmu. Tidak perlu di pas-apa yang terjadi dengan keningmu?" Akhirnya, setelah sedari tadi mengoceh sambil memunggungi Sophia, pemuda itu menoleh juga. Mahesa mengerutkan dahi. "Sepertinya parah."
Sophia menghela napas lagi. "Berada di waktu dan tempat yang salah. Kamu sendiri sedang apa di sini? Tidak ikut berkelahi?"
"Mainanku tidak di depan, tapi di belakang." Dia melemparkan senyum penuh enigma. Sophia menghela nafas lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Langit Memerah
Historical FictionPencarian, penemuan, pengorbanan, dan perpisahan. Semua itu terjadi sebelum langit memerah di bumi Bandung. ©jealoucy2020