7

621 148 8
                                    

Harum aroma mentega dan susu membangunkan Sophia dari tidur lelapnya, membunyikan perutnya yang tiba-tiba lapar, dan membuatnya segera melompat turun dari tempat tidur. Berjalan ke dapur tanpa merapikan tampilannya, Sophia menemukan ibunya sedang menjajar kue-kue di atas meja makan.

"Ibu, aku harap Ibu tahu bahwa tidak ada orang lain yang paling kucintai selain Ibu," ujarnya, berdiri di samping meja makan, menatap tujuh buah pai apel yang baru saja keluar dari oven, dengan penuh nafsu.

"Kamu tidak boleh makan lebih dari satu potong," kata Nyonya Wells tegas.

Sophia langsung cemberut. "Cintaku berkurang sedikit."

"Minah, ambilkan piring dan pisau." Dengan sigap Minah menuruti perintah majikannya. Nyonya Wells memotong kue itu dengan ukuran yang sama.

"Mau dijual, yah?"

"Untuk guru dan teman-teman kita yang baru pulang."

Mata Sophia langsung bersinar. "Boleh aku yang mengantarkannya ke rumah Pak Vasco?"

Ibunya tersenyum. "Tentu saja. Kamu pasti rindu sekali pada guru-guru kesayanganmu itu."

"Asik. Kalau begitu aku mandi dulu." Kemudian gadis itu lari meninggalkan dapur, menahan rasa panas dalam genggaman tangannya.

"Mandi, ya mandi saja! Tidak perlu membawa kue segala, dasar anak bandel!"

***

Rumah itu tidak besar. Hanya terdapat ruang tamu, dapur, dua kamar tidur dan dua kamar mandi, lalu ruang kerja. Isi dalam rumah itu juga penuh, penuh buku-buka, karya seni berupa lukisan atau kerajinan tangan lain. Sudah ratusan kali Sophia ke rumah ini sebelum Jepang datang, tetapi dia tidak pernah pandai memilih jalan agar tidak menendang sesuatu di rumah itu. Namun, kali ini di dalam rumah itu bersih. Barang-barang sedang berada di luar, dibersihkan setelah bertahun-tahun ditinggal pemiliknya.

"Pak Vasco turun berapa kilo itu, Bu Wilma?" tanya Sophia pada istri Pak Vasco. Tatapan mereka terpaku pada Vasco, pria 50an tahun yang sedang mengelap buku-buku tebal koleksinya.

Dengan senyum, Nyonya Wilma menjawab, "Antara 15 sampai 20 kilo."

Sophia bersiul. "Pantas saja jadi seperti tiang listrik," kata Sophia, mengundang tawa dari gurunya.

Sebenarnya bukan hanya Pak Vasco yang terlihat kurus, orang-orang yang baru saja dikeluarkan dari camp hampir semuanya terlihat menyedihkan. Tubuh mereka terlihat hanya terdiri dari tulang berbungkus kulit saja. Makanya Sophia sedikit segan setiap kali diajak berkumpul bersama teman-temannya, dia tidak enak hati terlihat paling sehat di antara mereka.

"Bagaimana kabarmu? Ibu dengar kamu hampir bertunangan dengan prajurit jepang tapi gagal."

Sophia memutar kepalanya dengan cepat. "Sejak kapan Ibu suka bergosip? Siapa yang mengatakannya?"

Hubungannya dengan Takamura seharusnya merupakan sebuah rahasia. Bahkan orang tua dan Margareth baru mengetahui bahwa putri mereka menjalin hubungan dengan prajurit yang mengawal mereka baru ketika Takamura hendak dipulangkan. Dan dia yakin mereka tidak akan menceritakannya pada orang lain. Selain Takamura yang usianya dua kali lipat dari umur Sophia, kewarganegaraan lelaki itu juga menjadi masalah. Jadi menurutnya keluarganya tidak akan menyebarluaskan sesuatu yang memalukan seperti itu. Yah, dia tidak terlalu yakin dengan Margareth, sih.

"Margareth."

"Perawan tua kaku sialan."

"Hush. Jaga bicaramu."

"Memang dia menyebalkan sekali, kok."

"Tetap saja, kan, tidak boleh begitu pada orang tua."

Sophia menggerutu sendiri sembari membalik-balikkan halaman buku di tangannya. Nyonya Wilma bangkit untuk mendatangi suaminya, menuangkan air minum pada gelas yang sudah kosong. Sophia menggunakan kesempatan itu untuk mengambil buku gambarnya dan melanjutkan sketsa seseorang yang hampir selesai. Senyum itu, susah sekali menggambar senyum kurang ajar itu.

"Bagaimana kemampuan menggambarmu?"

Sophia langsung menutup halaman sketsa itu dan memeluk bukunya ketika Bu Wilma duduk kembali di kursi di sebelahnya. "Tentu saja semakin bagus dan keren."

"Ibu selalu mengagumi sifat berani dan kepercayaandirimu itu, Fia. Kecuali saat hal itu mulai berlebihan." Sophia menjulurkan lidahnya. Bu Wilma menggelengkan kepala lalu mengulurkan tangannya. "Ijinkan ibu melihatnya."

Sophia sempat meragu. Satu, karena mungkin dia tadi kelewat percaya diri dengan kemampuan gambarnya. Dua, karena ada banyak gambar pria dengan wajah yang sama. Namun, teringatnya dia pada gambar pria di bukunya membuatnya ingat tentang kesepakatannya dengan pemuda itu, membuat Sophia akhirnya menyerahkan buku dalam dekapannya. Sophia ingin melihat apakah gurunya itu mengenali si pemuda atau tidak. Bagaimana reaksi Bu Wilma akan menjadi keputusan apakah Sophia akan memberikan informasi tentang gurunya itu atau tidak.

Bu Wilma mulai membuka halaman buku satu persatu, memberi komentar tentang kelebihan dan kekurangan pada gambar-gambar buatan Sophia, dan melemparkan banyak sekali pujian. Halaman yang dibuka Bu Wilma semakin mendekati sketsa pertama pemuda itu. Sophia semakin memperhatikan wajah gurunya dengan seksama. Membuka sketsa pertama, Bu Wilma tersenyum, menggoda Sophia.  Itu hanya sketsa kasar, tanpa volume atau detail khusus, hanya rambut yang dikuncir longgar itu, jadi Sophia tidak terlalu berharap banyak. Sketsa kedua, detail mulai ditambah, mulai membentuk wajah walau belum bisa dikenali. Bu Wilma semakin menggodanya. Namun, pada sketsa ketiga, baru ekspresi Bu wilma mulai berubah. Senyum perlahan menghilang dari sana.

Setiap kedip yang dilakukannya membangkitkan masa lalu, mata itu semakin mengenali siapa pemilik wajah yang digambar Sophia. Dia membalik halaman sketsa sebelum dan sesudahnya, sketsa yang Sophia bikin sepulang dari pertemuan mereka di jalan, bertatap wajah sehingga gadis itu bisa melihat detail pada wajah si pemuda.

"Si-siapa pemuda ini?" Suaranya bergetar, ada rasa takut dan harapan dalam suara itu.

"Tidak tahu. Aku hanya melihatnya di jalanan."

"Kalau kamu hanya melihatnya di jalanan, kenapa kamu bisa menggambarnya sebanyak ini?"

Sophia mengedikkan bahu. "Tidak ada alasan khusus, aku hanya melihat pemuda tampan dan langsung kugambar." Memperhatikan wajah gurunya lebih seksama, Sophia bertanya, "Bukankah dia tampan?"

"Iya, dia sangat tampan." Sophia dibuat terkejut ketika air mata mulai turun dari kedua mata gurunya. "Sangat. Sangat tampan." Dan tangisnya pecah. 

Tangis penuh rasa sakit, haru, dan bahagia yang tertahan puluhan tahun itu tumpah, membawa Sophia hanyut dalam gelombang dan hampir ikut menenggelamkannya juga. Pak Vasco datang mendatangi istrinya, memeluk dan menanyakan pada Sophia apa yang terjadi, tetapi gadis itu menggeleng tidak tahu. Saat Pak Vasco menanyakan pada istrinya langsung, Bu Wilma tidak langsung menjawab. Ketika akhirnya menjawab, hanya tiga kata yang keluar dari mulutnya.

"Anakku masih hidup."


***

Sebelum Langit MemerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang