Sophia tidak mengabulkan permintaan surat tak bernama yang diterimanya. Hanya Tuhan yang tahu siapa orang yang mengirimkan surat itu, bisa jadi dia seorang penjahat, tukang perkosa, atau orang yang sejenis dengan Takamura. Gadis itu lebih memilih cari aman, tidak mendekat apalagi mendatangi bekas markas Jepang selama berhari-hari.
Hari itu tiga hari setelah surat misterius datang, ditemani salah satu pelayannya, Sophia pergi ke kota. Peralatan menulisnya sudah habis, sedangkan dia belum membalas surat dari kakaknya yang sedang sekolah di Australia. Gara-gara menabung untuk sebuah misi rahasia, dia tidak pernah membeli keperluan kecilnya kecuali benar-benar habis dan sangat butuh.
"Kau tunggu di sini, aku mau ke sana sebentar," kata Sophia pada Minah.
Tanpa menunggu jawaban Minah, Sophia segera berjalan dengan cepat dengan sesekali melihat ke belakang. Ketika melihat sebuah gang di antara dua toko, dia berbelok ke sana, lalu dengan mencurigakan mengintip Minah yang masih berdiri dengan canggung di bawah terik matahari. Minah memang terlihat bodoh, tapi jangan tertipu dengan tampang polos dan lugunya. Dia itu mata-mata Margareth. Walau sering diperlakukan buruk oleh tantenya, gadis itu tetap setia seperti anjing, tidak pernah kehilangan senyum, dan sangat setia. Sayangnya kesetiaannya itu hanya berlaku pada Margareth, bukan pada keluarga Sophia. Sifatnya sangat menyebalkan.
Yakin Minah tidak mengikutinya, Sophia tersenyum. Dia melepas sanggul renggang di tengkuknya, membiarkan rambut panjangnya tergerai. Kemeja lengan pendek bermotif garis-garis hitam putih dia buka, menampilkan baju tanpa lengan bermotif bunga lili. Kemejanya lalu diikatkan ke pinggang untuk menutupi bagian belakang rok span pendek hitam yang dipakainya. Setelah yakin tak ada lagi tampilan Sophia yang tadi pagi keluar rumah bersama Minah, akhirnya dia keluar dari persembunyian, berjalan santai menuju sebuah toko.
Gadis itu lupa dengan kenyataan bahwa dia satu-satunya orang Eropa, dengan rambut werna merah, berjalan di tengah keramaian orang lokal yang berambut hitam.
Tidak banyak yang dijual Toko Mas Ayu, hanya ada beberapa kalung, gelang, cincin, dan liontin emas yang ditampilkan di etalase. Tidak mengherankan, mengingat sekarang masih dalam masa pemulihan setelah Jepang pergi.
Sophia mendekati seorang penjaga toko yang sedang mendengarkan sebuah siaran radio. "Permisi."
"Ah. Nona Sopi. Lama tidak bertemu. Apa kabar, cantik?"
"Kabar baik, Kang Sop. Apa kabarmu?" Sophia bertanya tanpa benar-benar peduli, perhatiannya tersita pada kalung rantai emas besar yang sedang Sopian pegang dengan hati-hati. "Wow. Berat badanku bisa naik jika memakai itu."
"Kabar saya baik, dan iya, ini ada sekitar satu kilo, jadi perubahan angka pada timbangan akan sangat kentara," kata Sopian, meletakkan kalung itu ke dalam kotak hijau yang terlihat mewah. "Nona Sopi mau membelinya atau membeli yang lain."
"Erm ... Sebenarnya aku ingin menjual sesuatu," bisik Sophia kikuk padahal di toko tidak ada orang lain selain mereka.
"Oh? Coba saya lihat." Sopian membuka telapak tangannya di atas meja kaca.
Sophia merogoh saku roknya, mengeluarkan sebuah kalung berliontin batu permata kecil berwarna merah muda. Sebuah hadiah dari ayahnya di ulang tahunnya yang ke lima belas.
Mata Sopian membulat. "Wow."
"Yup. Berapa harga yang bisa aku dapat?"
Sopian memeriksa beberapa saat untuk melihat kerincian pada kalung Sophia. Siulannya terdengar panjang dan takjub saat perhatiannya berpusat pada permata. Berlian langka, potongan sempurna, toko kecilnya tidak akan mampu membelinya.
"Nona yakin mau menjualnya?" Sophia mengangguk pasti. "Kalau iya, saya sarankan Nona pergi ke toko yang lebih besar. Toko kami tidak punya banyak uang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Langit Memerah
Ficción históricaPencarian, penemuan, pengorbanan, dan perpisahan. Semua itu terjadi sebelum langit memerah di bumi Bandung. ©jealoucy2020