Dengan alasan bosan karena berhari-hari tidak keluar rumah, Sophia ikut ayahnya pergi ke rumah bordir Ich Liebe Dich. Ada seorang atasan pasukan sekutu yang tidak bisa bergerak dan sesak nafas setelah bercinta dengan salah seorang PSK di sana. Awalnya Sophia tidak boleh ikut karena dia tertawa tanpa henti ketika mendengar ceritanya, tetapi setelah berjanji dia tidak akan mendekati ruangan pasien ayahnya, hanya akan mengobrol dengan Itjhe kalau temannya tidak sibuk, akhirnya dia diijinkan untuk ikut.
Beruntung bagi Sophia, Itjhe, wanita Belanda yang lebih memilih menjual diri daripada pulang atau masuk kamp, dengan senang hati menyambut kedatangan Sophia.
"Aku rindu sekali padamu, kawanku," kata wanita itu antusias namun, tetap berdiri di tempatnya, tidak berani mendekat pada Sophia. Terakhir kali dia memeluk temannya itu, Sophia disiksa oleh Margareth, dipaksa melakukan penyucian diri agar tidak ikut tenggelam dalam dunia Itjhe.
Sophia memutar bola mata dan mengambil inisiatif memeluk temannya. Tapi kemudian segera dilepaskan karena dia tidak tahu temannya itu sudah membersihkan diri atau belum setelah melayani pelanggan.
"Aku sedang menstruasi, jadi hari ini libur." Sophia menghela nafas lega dan memeluknya lagi. Itjhe menepuk punggung temannya berkali-kali. "Ayo, traktir aku makan."
Sophia tersenyum dan menurut saja diajak Itjhe ke sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan di samping pasar. Itjhe makan dengan lahap sedangkan Sophia hanya mengambil sebungkus peyek kacang tanah. Sudah sangat lama dia tidak mengunjungi Itje, jadi wanita itu memiliki begitu banyak cerita, dia menceritakan semua hal tentang orang-orang unik dan aneh yang menjadi pelanggannya, detail yang tidak perlu Sophia ketahui pun dia ceritakan, termasuk ukuran kejantanan orang-orang itu dan keanehan mereka saat bercinta. Sophia mengernyit, melemparkan sisa peyek di tangan ke meja dan bersyukur dia tidak memesan makanan besar.
Mendengarkan setengah-setengah cerita Itje lebih lanjut, Sophia melihat keluar. Pendengarannya langsung menuli ketika matanya menemukan sosok yang dikenalnya tengah bercanda dengan teman-temannya di depan pintu masuk Pagar Ayu. Dia bersender pada pintu rumah bordir itu dengan tawa menghiasi wajah cerahnya, mengamati temannya yang sedang bertingkah konyol.
"Tampan, yah?" celetuk Itjhe, yang akhirnya menyadari temannya tak memperhatikannya lagi.
"Biasa saja." Sophia berusaha bersikap biasa saja walau sebenarnya hati rasanya sudah naik ke tenggorokan, membisikkan doa dan harapan.
"Baguslah kamu berpikir begitu. Gadis baik-baik sepertimu tidak boleh menaruh hati pada lelaki yang setiap hari pergi ke tempat kami."
Jantungnya ingin melompat keluar. "Setiap … hari?"
"Kata Endang, sih, begitu. Sombong sekali pelacur itu. Mentang-mentang pelanggannya secakep itu, dia tidak berhenti pamer."
Telinga Sophia berdenging, matanya panas, hati di tenggorokannya membesar, menghalangi jalannya pernafasan gadis itu ketika dilihatnya Mahesa mengalungkan tangannya pada bahu Tatang dan menarik pemuda kerempeng itu masuk.
Doanya terbuang sia-sia dan harapannya hancur lebur.
Ketika akhirnya Dr. Wells selesai membantu pasien dan mengajaknya pulang, nyawa Sophia seperti tinggal setengah saja. Dia mati rasa. Tidak berhenti mengutuk diri sendiri karena begitu bodoh, begitu cepat jatuh cinta pada orang asing.
"Ayah."
"Hm?" Dr. Wells menyahut dari kursi kemudi.
"Aku berubah pikiran. Aku mau ikut makan malam."
Ayahnya tersenyum. "Baiklah. Lagi pula ayah tidak mengerti kenapa kamu menolak padahal katanya bosan setengah mati di rumah." Dr. Wells menggelengkan kepalanya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Langit Memerah
Ficção HistóricaPencarian, penemuan, pengorbanan, dan perpisahan. Semua itu terjadi sebelum langit memerah di bumi Bandung. ©jealoucy2020