6

725 150 10
                                    

ENAM

"SOPHIAAAA!"

Sebuah suara cempreng langsung membuat Sophia langsung menoleh ke arah datangnya suara. Sebenarnya bukan hanya gadis itu yang menoleh, hampir seisi restauran menoleh karena saking kerasnya suara itu menggema. Sophia menggeram, menyesal kemarin mengatakan bahwa dia merindukan suara Arabella, teman masa kecil yang tidak ditemui selama lebih dari tiga tahun itu.

Sophia mendatangi Bella, yang tengah duduk dengan seorang lelaki berwajah kotak, pipi gembul, dan berkumis tipis. Rambut pendek lelaki itu ditarik ke belakang semua, memamerkan dahi lebarnya.

"Hallo, maaf aku terlambat," ucap Sophia begitu sampai di meja mereka. Gadis itu yakin dia pergi dari rumah lebih awal, tidak disangkanya Arabella ternyata sudah datang. Dilihat dari isi air di dalam gelas panjang di atas meja, sepertinya mereka sudah duduk lama di sana.

Arabella mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Tidak. Tidak. Kamu tidak terlambat, kami yang datang lebih awal, ada pertemuan dengan teman Robert tadi. Oh, iya. Robert sayang, ini Sophia. Sophia, ini tunanganku, Robert. Kami bertemu di camp."

Robert berdiri dan mengulurkan tangannya pada Sophia yang juga sudah mengulurkan tangan. "Wow. Kau besar sekali," komentar Sophia.

Arabella terkekeh sedangkan Ribert segera duduk kembali setelah menjabat tangan Sophia. "Maaf. Keturunan. Semua keluargaku besar."

Sophia menggeleng. "Besar itu bagus. Soalnya Bella kecil, harus ada tempat untuk menyembunyikannya saat ada kecoak."

"Iya, kan?" Bella tertawa. Tawa yang disertai suara yang mirip suara babi, tawa yang juga menarik perhatian orang banyak.

Sophia menatap sahabatnya, siap beraksi jika gadis itu tiba-tiba terlihat sedih setiap kali tawanya lepas karena orang-orang mengejeknya, tapi sekian lama menunggu, sampai tawanya perlahan mereda, wajah gadis itu tetap nampak berseri-seri. Berganti menatap Robert, akhirnya Sophia tahu kenapa. Tatapan kagum dan sangat-sangat jatuh cinta pada sahabatnya. Di matanya tergambar jelas dia sangat terpesona dengan Bella, bahkan tawa anehnya tidak membuat lelaki itu berpaling. Sophia bertepuk tangan.

"Selamat. Selamat. Kapan tanggal jadinya?"

Mendengar pertanyaan itu malah membuat Bella murung. "Mungkin baru bisa akhir tahun ini. Orang tua Robert dulu berhasil pulang ke Belanda, jadi kami harus menunggu mereka datang kembali."

"Maaf, yah, Sayang."

"Tidak apa-apa, Sayang. Asal kamu di sini bersamaku."

"Tentu saja, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Mereka bertukar senyum lalu berciuman.

Sophia pikir mereka hanya akan berkecup satu dua kali, jadi dia hanya tersenyum melihat manisnya hubungan mereka. Tetapi ketika bibir mereka tidak juga lepas dan justru saling memperdalam ciuman sampai setengah menit, senyum gadis itu menghilang.

"Oke! Cukup! Kalian menjijikan. Aku belum makan siang."

Akhirnya mereka melepaskan diri. Bella terkekeh malu, pipi semerah tomat.

***

Sementara Bella dan Robert berbicara tentang teman mereka di camp, yang kebanyakan nama tidak Sophia kenal, gadis itu melihat ke sekeliling. Restauran yang bernama Anchor namun orang-orang asli Bandung menyebutnya restauran Angker, sekarang tengah ramai karena jam makan siang. Hampir tidak ada kursi kosong yang tersedia semntara di luar masih terlihat orang-orang mengantri. Melihat semua keramaian ini, tiba-tiba dia merasa rindu pada suasana sepi sebelum orang-orang Belanda dibebaskan.

Sebelum Langit MemerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang