Serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas, oleh TKR dan badan-badan perjuangan lain menghasilkan kekacauan yang semakin menjadi dan bagai pemicu aksi pemberontakan di tempat lain. Hal itu tentu membuat MacDonald marah, dia sampai menyampaikan ultimatum bahwa penduduk Indonesia harus meninggalkan daerah Bandung utara. Sebenarnya maksud dari orang Inggris itu hanyalah diperuntukkan untuk tentara dan para pemuda bersenjata, dia tidak menyangkah yang meninggalkan Bandung utama itu termasuk rakyat biasa, yang mana membuat Bandung bagian sana sepi, tanpa penduduk, bagai kota mati.
Toko-toko dan pasar kembali tertutup, pasar kosong, dan resto yang dimiliki orang-orang Belanda pada kewalahan melayani pelanggan karena sebagian besar pelayan mereka adalah kaum pribumi dan ikut pergi dari sana.
"Sebenarnya apa mau orang Inggris itu?" Bella menghela nafas, melihat ke sekeliling restauran yang ramai. Sudah hampir setengah jam menunggu, dan makanan mereka belum juga datang. "Apa arti dari sebuah penjajahan kalau tanah yang mereka jajah ternyata kosong? Kenapa mereka tidak berpetualang untuk menemukan daratan lain saja kalau begitu? Seperti Columbus yang menemukan daratan Amerika."
"Tapi bahkan daratan itu sudah ditempati suku Indian saat si tua itu menemukannya." Sophia melihat keluar.
"Benar juga." Bella menghela nafas lagi.
Suasana benar-benar berbeda. Kalau sebelumnya daerah itu terasa hidup walau dengan semua kekacauan yang terjadi, kali ini daerah itu benar-benar terasa kering dan mati, bagai gurun yang hanya dilalui angin yang menerbangkan pasir-pasir.
"Apakah kita makan di tempat lain saja?" usul Sophia. "Mau ke rumahku?"
Bella menggeleng. "Kita sudah terlanjur memesan, kan. Sayang kalau sudah dibuatkan." Bahkan kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri tidak terdengar meyakinkan.
"Bagaimana persiapan pernikahanmu?" Sophia berusaha mengalihkan pembicaraan, membuat suasana lebih ceria.
"Yah, gara-gara semua kekacauan ini, kelancarannya tertunda. Kabar baiknya, calon mertuaku akan datang minggu depan!"
"Benar, kah? Bagus sekali."
Mereka mengobrol mengenai pernikahan Bella yang akan diadakan sebulan lagi. Pesta pernikahan itu memang tidak akan terlalu besar dan hanya diadakan di halaman rumah mereka, tetapi Bella terlihat sangat antusias. Semua detail dalam pernikahan itu dan tema impian yang diinginkan Bella, Sophia menunjukkan kebahagiaan untuk sahabatnya dan dengan senang hati menjadi braidesmaid in honor.
***
Hampir sebulan setelah pertemuan terakhirnya dengan Mahesa di Hotel Humann, Sophia belum bisa melupakan rasa malu, sesal, dan leganya sudah mengatakan unek-uneknya pada pemuda itu. Mungkin karena rasa sakit semakin diingat semakin sakit saja yang membuatnya sulit melupakan semua rasa itu. Menatap sawah dari jendela ruangan ayahnya di rumah sakit, gadis itu menghela nafas.
"Ayah, aku ke sawah, yah."
"Mau apa? Panas, kan?"
Gadis itu mengangkat buku gambarnya. "Aku akan pulang sendiri sebelum makan malam," kata gadis itu sebelum meninggalkan ayahnya.
Sophia berjalan menuju sebuah gubuk yang berdiri sendiri di tengah sawah, dikelilingi padi-padai yang sudah menguning. Mereka seharusnya sudah dipanen, tetapi tidak ada yang melakukannya karena pemilik dan petani yang seharusnya mengerjakannya pergi begitu saja. Duduk di gubuk yang atapnya sudah pada bolong tak terurus, Sophia memandang hutan di seberang, hutan gelap yang seolah memanggilnua, mengundangnya untuk datang. Sudah mengakui bahwa dia gadis bodoh, Sophia bangkit dan membawa buku gambarnya ke hutan itu, berjalan melawan arus sungai sampai akhirnya menemukan jalan setapak yang mengantarkannya ke rumah Mahesa.
Tentu saja di sana tidak ada orang, Sophia sudah menduga itu. Apalagi dia yakin bahwa pemuda itu pasti merupakan salah satu di antar banyak pemuda yang melakukan penyerangan ke hotel-hetel yang dijadikan markas itu. Yang tidak Sophia duga adalah dia menemukan buku gambarnya di atas meja rumah yang tak terkunci itu. Dia duduk, memeriksa gambar-gambarnya, lalu meletakkan kepalanya pada halaman di mana seharusnya sketsa-sketsa Mahesa berada. Pemuda itu merobek halaman-halaman itu, tidak meninggalkan satu jejak pun untuknya. Memang gadis itu bisa saja menggambarnya lagi, tapi dengan semua hal yang sudah terjadi, dia merasa akan lebih baik dia tidak melakukannya. Lagi pula rasanya sakit sekali jika mengingat detail-detail ada wajah yang tidak akan pernah dia rengkuh dalam tangannya itu.
"Kejam sekali kamu," bisiknya sambil memejamkan mata.
Mungkin karena jam tidurnya yang tidak teratur akhir-akhir ini, atau karena kelelahan batin, dia malah tertidur di sana. Saking lelapnya yang begitu cepat, dia sampai tidak menyadari ketika seseorang datang dan berdiri di sampingnya.
***
Sophia terbangun di tempat tidur dan ruangan asing namun menatap sepasang mata familiar. Dengan posisi miring saling berhadapan di tempat tidur, untuk sesaat mereka hanya saling menatap. Suasana di luar sudah gelap, cahaya bulan yang masuk ke dalam kamar melalui jendela yang terbuka menjadi sumber penerangan dalam ruangan itu. Suara jangkrik dan serangga dari dalam hutan bagai musik pengisi kesunyian.
Mahesa mengulurkan tangan, mengambil sejumput rambut Sophia, menggulungkannya pada jari telunjuk. "Kamu sudah janji untuk tidak datang ke sini lagi."
"Kamu seharusnya sudah tahu aku bukan gadis pintar."
Mahesa tersenyum kecil. "Benar. Gadis bodoh yang seharusnya aku jauhi." Bisikan itu lebih terdengar untuk dikatannya pada diri sendiri. "Ah. Bagaimama ini? Bukan begini rencananya."
Rencananya dia hanya akan mengamati gadis itu dari jauh, menikmati rasa sukanya sendiri tanpa seorang pun yang tahu.
"Hidupku tidak pernah berjalan sesuai rencana."
"Tentu saja. Jarang ada manusia yang jalan hidupnya sesuai dengan apa yang di rencanakan."
Mereka kembali diam. Mahesa terus memainkan rambut Sophia di tangannya, sesekali menariknya, lalu mengganti rambut yang lain sampai lama kelamaan telapak tangannya yang membelai kepala gadis itu.
"Aku tidak memiliki apapun untuk kutawarkan padamu."
"Aku tidak meminta."
"Aku tidak bisa memberikanmu dunia."
"Aku sudah memiliki duniaku sendiri."
"Aku bisa menghilang sewaktu-waktu."
Sophia terdiam sesaat. "Tidak apa-apa. Aku pandai menikmati apapun yang tersedia untukku."
Mahesa diam. Membelai rambut dan pipi Sophia. Gadis itu memejamkan mata, menikmati apapun yang bisa dia dapatkan saat itu, berharap dia tidak akan terbangun dari mimpi.
"Aku tidak tidur dengan siapa pun di Pagar Ayu." Sophia membuka mata. "Kami ke sana bukan untuk membayar wanita untuk ditiduri, hanya menyewa tempat bawah tanah untuk berdiskusi."
Gadis itu tersenyum, senyum yang semakin lama semakin lebar saja. "Tidak apa-apa. Aku masih merasa cemburu karena para pelacur di sana bisa melihatmu setiap hari." Nada ringan dalam suara gadis itu membuat Mahesa tersenyum.
"Gadis bodoh. Kalau hatimu sering sekali dipatahkan orang, seharusnya kamu sudah tahu kalau cinta itu kacau dan tidak lagi mau mencobanya. Buang-buang waktu saja. Kamu bisa menggunakan waktumu yang berharga untuk melakukan hal lain."
Sophia meraih tangan yang masih menempel di pipinya. "Kalau cinta hanya buang-buang waktu, kenapa kita tidak membuangnya pada orang yang berharga?" Sophia menggenggam tangan besar itu, meletakannya di hatinya. "Buang waktumu padaku?"
Mahesa diam menatap wajah cantik di hadapannya, mata meragu yang menatapnya penuh pertanyaan dan dia jelas melihat harapan di sana. Akan lebih baik jika dia segera pergi dari sana, memberikan harapan pada gadis itu walau kecil tidak akan berakhir baik untuk mereka berdua. Tetapi nyatanya kata hati, kepala, dan tubuhnya tidak berada di jalan yang sama. Sebelum kepalanya berteriak untuk lari dari sana, tubuh Mahesa sudah berada di atas gadis itu dan menciumnya seperti singa kelaparan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Langit Memerah
Fiksi SejarahPencarian, penemuan, pengorbanan, dan perpisahan. Semua itu terjadi sebelum langit memerah di bumi Bandung. ©jealoucy2020