Mahesa pikir, setelah terbongkarnya penyamaran si hantu, perempuan itu akan menghentikan kegiatannya, tetapi nyatanya tidak. Tiga hari setelah Mahesa mengetahui bahwa hantu itu palsu, dia mendengar bahwa teman-temannya yang melakukan patroli kembali melihat sosok menyeramkan di bekas markas Jepang itu, begitu juga hari-hari berikutnya. Penampakannya justru semakin sering, dengan penampilan yang berbeda-beda.
Mau tidak mau, rasa penasaran berputar di kepala Mahesa. Apa tujuan perempuan itu? Apa kepentingannya? Apa untungnya dia menakut-nakuti warga? Dengan begitu banyak pertanyaan di kepala, siang itu Mahesa pergi ke tempat yang katanya angker itu.
Tidak banyak yang bisa dilihat di tempat itu. Sebuah bangunan dengan pagar tinggi, yang dulunya adalah sebuah pabrik, lalu digunakan sebagai markas prajurit Jepang dan sekarang dibiarkan kosong. Ilalang panjang tumbuh di dalam dan di luar pagar. Sebuah pohon tanjung besar dan megah tumbuh di dalam, cabangnya melebar sampai jauh ke luar pagar. Di sisi yang berbeda, sebuah pohon asam tumbuh tinggih dan berbuah ramai.
Awalnya Mahesa tidak melihat ada yang aneh, tetapi begitu mendekat, akhirnya dia melihat ada bagian dari rerumputan yang telah rata dengan tanah, seperti telah lama terinjak atau bahkan seseorang tidur di sana. Bagian itu tepat berada di bawah dahan tanjung yang berada di luar pagar. Tanpa pikir, Mahesa mulai mencari, entah mencari apa.
Dua jam kemudian tangan Mahesa masih kosong, mereka hanya kotor karena pemuda itu mengubek-ubek rumput yang awalnya dia injak. Terik matahari di tengah hari membuat peluhnya bercucuran seperti air terjun. Padahal dia berlindung di bawah pohon berdaun rindang, tetapi ternyata rasa panas masih mengikuti. Menghela nafas lalu mendongak, matanya menangkap sebuah benda berkilau yang tergelantung di salah satu cabang pohon. Perlahan senyum pemuda itu mengembang.
"Dapat."
***
"Apa orang-orang Belanda sudah mulai dibebaskan?"
Dengan benda antik dan berdesain khas yang ditemukannya di atas pohon, mustahil benda itu milik gadis sekitar sini. Namun, jika perempuan itu orang Belanda atau keturunannya juga sepertinya tidak mungkin. Jepang menyingkirkan orang-orang Belanda karena dianggap mengganggu, mereka diasingkan ke kamp-kamp khusus di beberapa tempat, dan ketika Jepang pergi mereka tidak dibebaskan, jadi seharusnya tidak ada yang berkeliaran sekarang.
"Tidak, setahuku belum. Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Hanya heran belum lama ini aku melihat seorang perempuan berambut coklat."
"Mungkin salah satu keluarga Dr. Wells."
"Dr. Wells?"
Tatang mengangguk. "Dia memiliki seorang putri, Nona Sopi, seorang istri, lalu kakak perempuannya yang seorang penyihir, "
"Nona Sopi?" Itu bukan nama yang terukir pada benda yang ditemukannya.
"Hm. Mereka tinggal tidak jauh dari rumah sakit. Tapi mereka bukan orang Belanda, mereka datang dari Swici … Switjer … Switzerland! Dokter yang baik. Hanya dia yang mau mengobati kita sebelum anjing Jepang datang. Sekarang dia pelit." Tatang mencibir.
Mahesa menganggukan kepala beberapa kali.
"Perempuan yang kau lihat itu, cantikkah??" Tatang memandangnya dengan tatapan jail menggoda.
"Siapa nama istri Dr. Wells?"
Hilang ekspresi jail di wajah Tatang, digantikan dengan kekhawatiran. "Hesa, aku tahu kau lama di hutan dan mungkin preferensimu berubah mengingat terbatasnya pilihan untuk pelampiasan nafsumu, tapi sungguh, Nona Sopi lebih cantik dari emaknya." Mahesa memutar bola mata. "Atau Melati saja sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Langit Memerah
Historical FictionPencarian, penemuan, pengorbanan, dan perpisahan. Semua itu terjadi sebelum langit memerah di bumi Bandung. ©jealoucy2020