Jalinan kasih mereka seperti ada dan tidak ada. Keadaan kota Bandung yang semakin kacau membuat mereka tidak bisa sering bertemu. Dengan Mahesa datang ke kamarnya saja sudah merupakan resiko besar, mereka tidak mau mencoba peruntungan yang lebih beresiko. Mereka hanya bertemu seminggu sekali, terkadang dua minggu berjalan tanpa kabar dari Mahesa. Walau begitu, sekalinya mereka bertemu, mereka tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Mereka mengobrol sepanjang malam, kadang mereka bercinta, tetapi lebih banyak mengobrol, mengetahui satu sama lain lebih banyak.
Dengan semua hal yang terjadi, pernikahan Bella bisa dibilang tidak terpengaruh sama sekali. Acara itu berjalan dengan lancar dan ceria. Menatap dua mempelai duduk di pelaminan membuat pikiran Sophia melayang ke mana-mana, membayangkan dirinya berada di sana suatu hari. Pria yang selalu dibayangkannya tanpa wajah sebelumnya, kali ini sudah membentuk rupa. Ketika wajah itu semakin jelas dalam bayangannya, Sophia segera menggeleng, menghilangkan bayangan itu.
Dugaannya benar. Mahesa langsung tak bereaksi, tubuhnya kaku di bawah tangannya, ketika Sophia membahas pernikahan Bella, dan setelah itu hampir sebulan lebih dia tidak datang. Nyonya Wells sampai kebingungan kenapa putrinya terlihat sangat murung dan sesekali terdengar isak tangis dari kamar anaknya. Saat ditanya, gadis itu hanya menjawab sedang mimpi buruk, sangat buruk. Pelukan dari sang ibu menjadi satu-satunya penenang.
Malam itu kota Bandung diterpa hujan angin besar, listrik mati, dan suara-suara derak pepohonan saling bersahutan tak henti di luar sana menciptakan kesan seram yang membuat gadis itu merasa nyaman meringkuk di bawah selimutnya. Sophia awalnya tidak mendengarnya, ketukan beruntun di jendela dikiranya hanya ketukan dari dahan pohon di luar kamarnya. Ketika dia ingat dia memiliki kekasih yang datang dan perginya tanpa permisi atau pemberitahuan lebih dulu, dia segera berlari menghampiri jendela membukanya. Dia menemukan Mahesa bediri di bawah jendelanya, basah kuyup, tetapi dengan senyum lebar menyambutnya.
"Hai."
"Hai.
Sophia membuka jendelanya lebih lebar dan Mahesa melompat ke dalam. Jas hujan yang hanya terbuat dari plastik lebar yang melindungi badannya dia lepaskan lalu melampirkannya pada dahan pohon terdekat. Sophia segera menutup jendela setelah itu.
"Kemana saj-"
Mahesa tidak membiarkan gadis itu menyelesaikan kata-katanya, dia langsung meraih pipi Sophia lalu menciumnya dalam. Sophia membalas ciuman itu dengan keputusasaan yang sama. Rasa rindu membuatnya tidak bisa menahan diri. Dia mendorong pemuda itu ke tempat tidur tanpa melepaskan ciuman. Mahesa terkekeh, tetapi menurut.
"Rambutku masih basah," kata Mahesa ketika kepalanya menyentuh tempat tidur paling nyaman yang pernah dia rasakan.
Sophia melepaskan Mahesa, duduk di atas perut pemuda itu lalu mencibir. "Siapa yang menyuruhmu hujan-hujanan?" Sophia meraih kain yang tersampir di kursi di samping tempat tidurnya dan mulai mengeringkan rambut pemuda itu.
Mahesa meletakan tangan di atas dada kirinya. "Rasa rinduku padamu." Dia menyeringai puas.
"Ya ampun. Gombalanmu semakin bagus saja. Aku harap kamu tidak berlatih pada gadis lain." Nada sidir dalam suara gadis itu membuat Mahesa tersenyum lebar.
"Tentu saja tidak." Mahesa membawa kepala Sophia mendekat. "Hanya sedikit waktu yang bisa kubuang dan aku hanya ingin membuangnya padamu."
Dan mereka memulai lagi. Melepaskan pakaian masing-masing dengan terburu-buru, seolah dikejar waktu. Namun, kendari dimulai dengan terburu-buru, namun mereka bercinta dengan pelan dan lama, menikmati semua momen yang bisa mereka dapatkan saat itu, membayar semua yang sudah terlewatnya, tapi harus menahan suara lenguhan dan desah nikmat karena suasana rumah yang sepi bisa membuat mereka ketahuan.
Selagi Mahesa memanjakannya, Sophia dengan kesulitan menatap mata pemuda di atasnya, wajah tampan berkeringat dengan otot-otot yang menegang. Ada satu hal yang sangat ingin didengar gadis itu darinya.
"Aku sangat mencintaimu," bisik gadis itu.
Seperti yang sudah-sudah, setiap kali Sophia mengatakan tiga kata itu, Mahesa tersenyum. "Aku tahu." Lalu pemuda itu menciumnya.
Selagi membalas ciuman itu, Sophia memejamkan mata, air mata menetes dari sana dan dia memeluk pemuda itu dengan erat.
Ada sesuatu yang berbeda pada senyum pemuda itu malam ini. Senyum sedih dan sesal yang dia yakin sekali tidak pemuda itu harapkan untuk dilihat Sophia. Tetapi terlambat, gadis itu sudah melihatnya. Entah Mahesa pura-pura tidak tahu kalau Sophia menangis, tau dia memilih membuat gadis itu melupakanya, pemuda itu melakukan semua hal yang dia bisa untuk membuat gadis melayang dalam surga kenikmatan.
"Aku juga mencintaimu." Sophia tersenyum dalam tidurnya. Akhirnya dia mendengar kalimat itu walau hanya di dalam mimpi.
"Maafkan aku." Senyum gadis itu perlahan luntur. "Selamat tinggal."
Itu bukan mimpi. Dia bisa merasakan kecupan ringan di dahinya dan aingin dingin yang berembus masuk dari jendelanya yang terbuka. Dia memeluk dirinya sendiri, menangis dalam diam dan baru bisa menangis sepenuhnya setelah terdengar suara jendela ditutup.
***
Bandung bukan lagi berada pada keadaan kacau. Kota ini sudah berantakan, sengaja dibuat berantakan, lalu dibakar agar orang-orang berkulit putih itu tidak bisa menggunakan kota itu sebagai markas besar pendudukan mereka. Warga Bandung kompak meninggalkan kota itu, berinisiatif membakar rumah sendiri demi harga diri dan jiwa mereka yang menolak dijajah kembali.
Keluarga Sophia dan beberapa keluarga temannya, termasuk Nyonya Wilma dan suaminya, sudah diberitahu untuk mengungsi pagi itu. Seseorang mengutus seorang pemuda untuk memberitahu apa yang akan warga Bandung hari itu, menyuruh Keluarga Sophia menjauh dari kota karena kota akn sangat panas.
Sophia menyaksikan Bandung yang menyala dari dalam mobilnya yang berjalan menjauhi kota, mengernyit sakit ketika sebuah ledakan besar terdengar, memeluk bantal yang masih menyimpan aroma samar dari kekasihnya. Tidak henti berdoa semoga pemuda itu baik-baik saja walau sepertinya tidak mungkin.
"Ayah."
"Hm?" Dr. Wells menyahut dari kursi kemudi.
"Ayo kita pulang."
Dr. Wells beradu pandang dengan istrinya. Mereka sempat membicarakan keadaan putrinya yang terlihat sangat merana akhir-akhir ini, lebih terlihat menyedihkan dari saat ditinggal Takamura. Nyonya Wells menggenggam tangan suaminya lalu mengangguk.
"Abaiklah. Ayo kita pulang. Dengan semua kekacauan yang terjadi, sepertinya keadaan ini akan semakin memburuk. Ayo kita pulang." Dr. Wells melirik putrinya dari kata spion di atas dashboard. "Apa kamu siapa mengurus kambing dan memberi makan ayam di peternakan?"
Sophia mempererat pelukan pada bantalnya. "Sepertinya akan menyenangkan."
Api itu terus berkobar sampai pagi, sampai kota yang awalnya sangat indah berubah menjadi kota yang menyeramkan. Jumlah korban tidak bisa dihitung dengn jari. Surat-surat kabar yang memberikan judul berita yang serupa, yaitu Bandung Menjadi Lautan Api, beredar di man-mana di hari berikutnya.
Peristiwa itu pemicu pemberontakan di kota-kota lain. Membuat klaim proklamasi Indonesia yang terjadi tahun lalu terasa hanya mimpi yang jauh.
Indonesia memang merdeka dari Jepang tanggal 17 Agustus tahun 1945, tetapi mereka tidak merdeka dari orang-orang serakah lain yang sudah berada di tanah mereka. Bahkan kedepannya, orang-orang sendiri meminta merdeka dengan menciptakan kekacauan lain walau kaum Eropa sudah diusir.
Jadi, sebenarnya kapan Indonesia benar-benar merdeka?
***
END
![](https://img.wattpad.com/cover/235572949-288-k472750.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Langit Memerah
Ficción históricaPencarian, penemuan, pengorbanan, dan perpisahan. Semua itu terjadi sebelum langit memerah di bumi Bandung. ©jealoucy2020