"Ada dua versi," Puji memulai. "Satu, versi noni yang mati digantung karena menolak cinta orang pribumi. Dua, versi nyai yang dibunuh kompeni karena menolak cinta mereka."
Mahesa mengangguk, menunjukkan ketertarikan pada cerita Puji walau sebenarnya dia tidak percaya dengan hal-hal semacam itu. Mahesa memancing Puji untuk bercerita hanya untuk mengalihkan rasa takut pemuda itu, yang terus saja menundukkan kepala dan selalu terkejut setiap mendengar suara di sekitar sejak mereka keluar dari rumah Mahesa.
Mahesa merupakan pendatang baru di Bandung, diterima dengan tangan terbuka karena surat rekomendasi dari orang yang mereka hormati. Walau sudah bergaul dengan teman-teman Tatang, para pemuda seperjuangan yang rela mati di garis depan, belum banyak yang dia ketahui tentang daerah itu. Dia memang pernah mendengar tentang hantu penunggu pohon asam di dekat rel kereta api di daerah utara, tetapi dia anggap cerita itu hanya sebagai bahan untuk menakut-nakuti temannya yang lain. Hantu itu tidak nyata, tidak ada yang namanya hantu kecuali kau mempercayainya.
"Konon katanya si noni ini wanita sombong angkuh yang bersentuhan dengan kita saja dia merasa jijik."
"Bukankah semua anak Indo begitu?" Mahesa menyela.
"Tidak juga. Aku kenal Indo yang baik," Tatang menimpali, mengalungkan tangannya pada pundak Mahesa. Mahesa melepaskan tangan Tatang.
"Nah. Suatu hari seorang pemuda dari timur melihatnya, katanya cinta pada pandangan pertama. Si pemuda ini anak orang kaya, jadi dengan percaya dirinya dia datang menyatakan cinta dan mengutarakan maksud untuk melamar. Dasar si noni setan, dia malah mempermalukan pemuda ini di depan umum, menolaknya mentah-mentah dan menghina rupa si pemuda. Seminggu kemudian si noni ditemukan mati tergantung di cabang terendah pohon asam." Lalu, dengan berbisik dia menambahkan, "Matanya dicongkel. Katanya mata noni ini sangat indah jadi diambil sebagai kenang-kenangan. Hantunya gentayangan karena mencari matanya itu."
Tatang bergidik seram, Puji merapatkan diri pada dua temannya sembari melihat ke sekeliling, sedangkan Mahesa hanya mengangguk dan menggumam.
"Bagaimana dengan kisah si nyai?" Tatang bertanya.
"Seorang nyai yang cantik jelita, menjadi peliharaan seorang kompeni. Hidupnya enak, sudah makmur, segala kebutuhannya terpenuhi. Tetapi pertemuannya dengan seorang pria pribumi membuatnya meninggalkan segalanya dan kabur dengan lelaki ini. Si kompeni tidak terima dan akhirnya membayar preman untuk membunuh si nyai."
"Dari dua cerita itu disimpulkan bahwa ... Wah. Cinta benar-benar membuat orang jadi gila," komentar Tatang. Puji mengangguk menyetujui.
"Jadi, yang benar itu hantu noni atau nyai?"
"Tergantung siapa yang melihat penampakannya. Si noni hanya memperlihatkan diri pada pribumi, sedangkan si nyai suka menghantui para kompeni." Tatang dan Mahesa menganggukkan kepala berkali-kali. "Kisah si nyai ini paling terkenal. Kalian pasti pernah mendengarnya. Nyai Dasimah, kalian tahu, kan?"
Dahi Mahesa berkerut. Ada yang tidak masuk akal dalam cerita Puji. Dia memang pernah mendengar cerita tentang Nyai Dasimah dari teman perempuannya yang mengagumi kisah-kisah romantis walau kebanyakan berujung tragis.
"Bukankah Nyai Dasimah terjadi Batavia? Bagaimana ceritanya bisa sampai kesini?"
Kedua rekannya berhenti berjalan, memikirkan perkataan Mahesa. "Leh. Namanya juga hantu gentayangan, dia bisa ke mana saja." Akhirnya Tatang mencetuskan jawaban dari pertanyaan Mahesa.
"Dan yang membunuh Nyai Dasimah katanya si lelaki pribumi, bukan kompeninya."
"Aish. Kau ini serius sekali. Namanya juga cerita legenda, orang bisa mengubahnya sesuai keinginan mereka." Tatang menepuk bahu Mahesa. "Iya, kan, Ji? Loh, mana ini anak?" Tatang tidak menemukan temannya di sebelah Mahesa, dia menemukannya beberapa langkah di belakang. "Eh, kenapa kamu di situ?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Langit Memerah
Fiksi SejarahPencarian, penemuan, pengorbanan, dan perpisahan. Semua itu terjadi sebelum langit memerah di bumi Bandung. ©jealoucy2020