10

656 146 16
                                    

Merantau di kota lain sendirian tanpa keluarga, dia terbiasa pulang ke rumah yang gelap dan sepi, tak ada seorang pun yang menunggu apalagi menyambutnya. Namun, hari itu berbeda. Entah hal baik apa yang sudah dilakukannya hari ini sampai ada seorang gadis cantik yang menunggunya duduk di anak tangga rumah sementaranya. Atau mungkin dia akan mendapat kesialan sebagai ganti keberuntungan hari ini?

"Bukankah bahaya seorang gadis sendirian di tempat gelap?" kata Mahesa begitu dia mendekat. "Kamu tidak sedang menyamar menjadi hantu penjaga hutan, bukan?"

Sophia menghentikan tangannya, yang sejak tadi sibuk mengusir nyamuk, untuk menangkup kedua pipinya. "Apa aku terlihat menyeramkan? Aku memang terlihat pucat, tapi kulitku memang seperti itu, bukannya sengaja pakai riasan." Gadis itu jadi menyesal sempat menaburkan bedak dan mengoleskan pemerah bibir pada wajahnya, walau tipis dan tidak kentara.

"Sedang apa kamu di sini?" Bukannya dia tidak bersyukur disambut wajah ayu, hanya saja karena pemilik wajah ayu itu adalah Sophia, dia menjadi curiga. "Siapa yang memberitahumu soal tempat tinggalku?" Matanya menyapu ke sekeliling, tidak ada kendaraan yang terparkir. "Bagaimana kamu bisa sampai sini?"

Gadis itu menghindari tatapan Mahesa, menggaruk-garuk kakinya yang gatal karena nyamuk, lalu tiba-tiba dia menampar pipinya sendiri dengan kuat. "Astaga!! Nyamuk sialan! *@"+:(+:?='6$"!!!!!" 

Tamparan yang tiba-tiba disusul sumpah serapah paling kasar yang pernah didengarnya mengejutkan Mahesa, pemuda itu sampai tertawa. Akhirnya dia menaiki teras rumah dan membuka pintu. "Masuklah. Setidaknya di dalam lumayan."

"Aku benci sekali pada nyamuk. Kenapa tidak ada yang membasmi nyamuk? Makhluk hidup paling tidak berguna di dunia, tapi paling awet. Kenapa Tuhan menciptakan nyamuk?" 

Gadis itu mengibaskan buku besarnya ke segala arah, hampir mengenai kepala Mahesa. Untung pemuda itu menghindar tepat waktu. Tertawa kecil, dia mengikuti Sophia masuk.

"Entahlah. Aku bukan Tuhan, jadi tidak bisa menjawab pertanyaanmu." 

Untuk sesaat mereka terkurung dalam gelap. Lalu sebuah senter menyala di tangan Sophia, mengedarkan cahayanya ke segala penjuri ruangan. Mahesa masuk ke bagian dalam rumah yang lain lalu keluar lagi dengan membawa patromak. Perlu beberapa waktu untuk alat penerang itu menyala dan menerangi ruangan. Ada sebuah meja kayu sederhana ditemani empat kursi. Selain kelima benda itu tak ada perabot apapun lagi di sana. Sophia menyimpan kembali senternya.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku." Mahesa mengambil kursi di sebelah kiri dan mempersilakan Sophia duduk di kursi di hadapannya. Gadis itu mengambil kursi dan menjauhkannya dari Mahesa, meletakkannya di dekat pintu. Mahesa tertawa. "Kalau kamu begitu tidak percayanya padaku, tidak seharusnya dari awal kamu ke sini malam-malam. Seperti tidak ada hari esok saja."

"Oh. Aku bertanya pada Tatang," kata Sophia, menjawab satu pertanyaan Mahesa dan mengabaikan perkataan terakhir pemuda itu. "Ke sini dengan berjalan kaki."

"Dari rumahmu ke sini? Berjalan kaki?" Sophia mengangguk, Mahesa menatapnya tak percaya. Rumah gadis itu dan tempat ini jaraknya tidak seperti antara Rt.1 dengan Rt.2, atau Rw.3 dengan Rw.6, tidak sedekat itu. Tempat tinggal mereka sudah termasuk beda desa, itu pun bukan desa tetangga yang bersebelahan, jadi menurutnya mustahil seorang nona bisa berjalan sejauh itu.

"Sungguh, aku tidak bohong!"

"Sudah kubilang, bukan, untuk menghindari keramaian dulu." 

Mahesa merasa terganggu membayangkan gadis ini bertemu dengan kekacauan lagi. Apalagi ada kekacauan besar di dekat restauran langganan gadis itu tadi siang, Mahesa masih merasakan nyeri pada perutnya yang disodok mulut bedil oleh seorang sinyo yang mengaku keturunan pejabat di VOC. Siapa yang peduli? Toh, VOC sudah bubar berabad-abad lalu, dasar anak berotak kacang. Untung saja bedil itu tidak memuntahkan peluru ke perutnya.

Sebelum Langit MemerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang