Fall

340 42 52
                                    

"Fey..! Fey!!" Ini sudah panggilan ketiga sejak Rani memanggil pertama kali. Baru kali ini Fey benar-benar hilang fokus.

"Ya Mbak?"

"Kamu ke farmasi gih ambil barang cito! Alkes ini cito terus yang resep ini juga cito," jelas Rani.

"Oke."

"Segera ya, Fey! Bedahnya mau tindakan habis ini! Tapi, Fey are you okey?"

"Eh, okey kok, Mbak!" Fey tersenyum tapi Rani tahu senyumnya tak seperti biasa.

Fey, berjalan cepat menuju depo farmasi. Rani yang melihat Fey hanya menggelengkan kepala.

"Kamu tahu Din, dia kenapa?" Rani menanyakan ke Dini seraya menatap Fey yang berjalan keluar ruangan.

"Kurang tahu Mbak, dia juga jarang update medsos sekarang ini, padahal dulu sering. Dia makin diam, dingin terus kayak makin menjauh sama kita!"

"Ngomongin Fey kalian?" Tanya Prihartati yang sering dipanggil Mbak Pri. Ia baru dari pasien kemudian duduk menjajari Dini juga Rani.

"Iya Mbak, Mbak sendiri tahu Fey kan kayak bukan Fey biasanya akhir-akhir ini?"

"Mbak juga pikir gitu! Mungkin ada masalah Din dia! Sudahlah kita doakan dia nggak papa Ya!"

Fey hidup seperti zombie, ia terus bekerja dan bekerja. Hal itu merupakan salah satu metodenya untuk mendiktraksi pikiran agar tak berfokus ke semua kenangan Fey dan Henry. Berat, karena sebagian hidupnya diisi oleh Henry. Itulah yang membuat Fey tertatih untuk bangkit. Hingga tanpa sadar Fey semakin menepi dari kehidupan sosialnya.

Fey selalu mengiyakan permintaan beberapa temannya untuk sekedar tukar jadwal bahkan ia mau merelakan hari liburnya untuk mengganti shift temannya. Rela double shift bahkan sampai mengambil 3x malam hanya sebagai alasan dia tak ada di kontrakannya. Banyak hal yang ia habiskan di sana dengan Henry. Sehingga terasa menyakitkan saat berada di sana sendiri. 2 hari lalu ia nekat menginap di hotel untuk menghindari rumah kontrakannya. Namun justru itu membuatnya semakin larut dalam kesedihan.

Dering ponsel milik Fey menjadi penanda pertama setelah hampir satu hari dia non aktifkan.
Nama Karin, sahabatnya muncul di layar ponsel miliknya.

"Ya, Rin?"

"Kamu dimana sih? Ini dicariin Mama." omelan Karin menjadi sambutan pertama begitu ia menjawab panggilannya.

"Aku? Nnggg, di hotel."

"Ngapain?? Ngepet?" Fey memutar bola matanya, tawa menghiasi panggilan itu membuat Karin tersenyum lega. Setidaknya ia tahu Fey baik-baik saja.

"Ke rumah sini! Sekalian nginep, Mama masak banyak, kangen kamu katanya tuh."

"Ok, bilang ke Mama anak kesayangan Mama dateng 10 menit lagi."

"Nggak usah ngaco! Dilarang ngebut, santai aja napa sih! Sayang nyawa, aku gak mau didatengin arwah penasaran yang namanya Felichia lho."

"Heh, doanya jelek amat Neng?"

"Makanya, nona nggak usah kebut-kebutan! Hati-hati."

Karin mematikan panggilannya dan memberikan kode kepada sosok dihadapannya, Rene. Kakak Ipar dari Henry namun ia juga merupakan teman dekat Felichia. Rene tahu, sejak berakhirnya hubungan Henry dan Fey, Fey seolah menghindarinya. Ia tak membalas pesannya juga menjawab teleponnya hingga ia meminta bantuan Karin.

"Makasih ya, tolong jagain si Fey! Nanti aku mau ketemu dia kalau udah kondusif!" Karin mengangguk, menatap kepergian Rene di balik pintu Cafe. Karin pun semakin bersalah karena tak peka dengan kondisi sahabatnya. Ia lupa kebiasaan manusia bernama Fey itu selalu menyendiri jika ada masalah. Harusnya tak perlu Rene yang meminta bantuannya.

It's Okay, Love! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang