"Eh anak haram tuh."
"Masih betah aja sih dia di sini."
"Iya ih, dasar gak tau malu!"
"Aduh ngotor-ngotorin pemandangan aja tuh sampah!"
"Kenapa gak pergi aja sih tuh orang?!"
Aku menghembuskan nafasku dengan kasar. Mencoba tetap tenang. Cemoohan mereka itu makananku setiap harinya. Aku sudah kebal dengan semuanya.
Mau bagaimana lagi? Mereka yang memiliki harta benda pasti sangat mudah untuk menyingkirkanku dari sekolah ini. Maka dari itu aku selalu berusaha untuk diam supaya tidak ada alasan mereka membuatku ditendang dari sekolah elite ini. Aku tidak mau membuat ibuku sedih jika sampai aku dikeluarkan dari sekolah ini. Alasan sederhana itu yang membuatku tetap bertahan.
Mengabaikan ucapan buruk seluruh siswa-siswi di sepanjang koridor, akhirnya aku sampai di kelasku. Setidaknya orang-orang akan mengabaikanku, tidak mengataiku. Mungkin aku sedikit beruntung di kelas 11 ini. Karena berada di peringkat awal aku dimasukkan di kelas unggulan sehingga teman-temanku adalah orang yang sedikit berotak. Karena sungguh, ketika kelas 10 aku benar-benar sangat tertekan sampai hampir bunuh diri karena semua teman-temanku adalah makhluk yang tak berperasaan seperti semua orang di koridor tadi.
Aku berjalan menuju bangku pojok paling belakang. Itu tempat dudukku, hanya sendirian. Kursi satunya dibiarkan kosong karena memang jumlah siswa di kelasku ganjil dan tidak ada yang mau duduk denganku.
Aku mengeluarkan ponselku, bukan smartphone mewah, tapi setidaknya ini layak digunakan dan sangat membantuku dalam belajar. Aku memasang earphone di kedua telingaku. Memutar video pembelajaran yang aku unduh dari youtube ketika ada sambungan wifi. Aku mempelajari ulang materi pelajaran yang sebenarnya belum diajarkan namun sudah ku pelajari semalam.
Telingaku memang tersumpal earphone, tapi aku tetap dapat mendengar sekelilingku karena volume-nya tidak ku kencangkan.
Aku menoleh ketika wali kelasku yang juga merupakan guru Sejarah masuk ke dalam kelas. Sebentar, seingatku tidak ada pejaran sejarah sekarang. Atau aku salah jadwal?
Aku mengalihkan seluruh atensiku padanya. Guru yang bernama Pak Hendra itu ternyata hanya memberikan pengumuman.
"Selamat pagi anak-anak."
"Pagi, Pak."
"Jadi kedatangan saya kemari ingin memberikan informasi kepada kalian. Di kelas ini akan ada pertukaran siswa dengan kelas sebelah. Hal ini dikarenakan kesalahan penghitungan nilai kalian. Seharusnya siswi yang bernama Citra Amaria berada di kelas sebelah dan yang berada di sini seharusnya Bian Alvaro Regarta. Jadi yang bernama Citra silahkan ikut Bapak ke kelas sebelah."
Aku melirik sejenak ke siswi bernama Citra itu. Dia terlihat gembira mengetahui bahwa dia tidak seharusnya berada di kelas ini. Kalau itu aku, mungkin aku akan menangis dalam diam. Dia beranjak meninggalkan teman sebangkunya yang bernama Serli, gadis pendiam berkaca mata. Berbeda denganku, Serli memang anak introvert, sedangkan aku adalah anak yang dipaksa menjadi pendiam karena kenyataan.
Tak lama, Pak Hendra kembali bersama dengan seorang anak laki-laki yang kalau aku tidak salah dengar, namanya Bian atau Vian tadi? Apakah itu lelaki yang dimaksud orang-orang? Yang katanya menyukaiku? Ah aku tidak terlalu peduli tentang hal itu. Sangat tidak penting untukku.
"Nah ini yang namanya Bian, silahkan perkenalkan dirimu dulu, Nak."
"Baik, Pak," cowok itu maju selangkah untuk memperkenalkan dirinya.
"Halo semuanya. Nama gue Bian Alvaro Regarta. Kalian bisa panggil gue Bian. Sekian."
"Baik semuanya kalau begitu Bapak pamit. Kalau ada yang mau ditanyakan, langsung pada Bian saja ya," ucap Pak Hendra lalu menepuk bahu Bian, "Kamu yang betah di sini. Silahkan pilih tempat duduk yang kosong."
KAMU SEDANG MEMBACA
TEARS
Teen FictionOrang bilang cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Tapi mengapa ayahku justru menjadi orang yang paling ku benci di dunia ini? Aku, korban keegoisan orangtuaku-ayahku. Aku sangat membencinya. Dia telah menyakitiku dan ibuku. Bukan mem...