Hola guys. I'm back. Aku pribadi sebenarnya kurang suka sama part ini hehe, kayak nggak sesuai untuk kehidupan nyata gitu loh. Tapi ya nggak papalah.
Aku masih mikir hal kayak gini masih sering terjadi nggak ya?Ok, langsung saja let's get it!
Pada jam istirahat ini, aku ingin pergi ke toilet. Aku dengan cepat menyelesaikan keperluanku.
Disaat aku sedang mencuci tangan di wastafel, rambutku ditarik oleh seseorang dengan kencang. Rasanya kulit kepalaku hampir terlepas.
Aku merintih kesakitan.
Tak hanya menjambak rambutku, orang itu mendorongku ke salah satu bilik toilet yang berada di ujung. Salah seorang lainnya tiba-tiba menyiram kepalaku dengan air dingin.
Terlihat empat orang itu tertawa melihatku basah kuyup.
"Gue peringatin sama lo! Jangan deketin Bian!" Teriak orang yang menyiramku tadi.
"Harusnya lo tuh ngaca! Lo itu cuma anak haram! Nggak usah belagu!" Tambah orang yang menjambakku.
Aku mendongakkan kepalaku, mereka adalah Rita, Kintan, Hera, dan Tiara. Geng most wanted girls di sekolahku. Mereka juga gadis-gadis yang paling disegani di sini. Apalagi alasannya selain kekayaan dan kecantikan mereka.
"Giandra Alvina, gue nggak suka lo deket-deket sama Bian. Jangan pernah lo deketin dia lagi! Paham?!" Ucap Rita menatapku rendah.
Aku menahan isak tangisku. Bukannya aku cengeng. Tapi ini memang pertama kalinya aku diperlakukan seperti ini. Pembullyan secara verbal sering ku dapatkan, tapi tidak secara fisik begini. Apa masih zamannya melakukan pembullyan fisik seperti ini sekarang?
"Nggak usah sok nangis deh lo! Gue tau lo cuma mau manfaatin Bian 'kan?!" Tuduhnya lagi.
Rita mendekat ke arahku lalu menarik rambutku kencang.
"Awh..." Rintihku memegangi kepalaku.
"Sakit ya?" Tanyanya lalu tertawa.
"Gue nggak akan gini kalo lo tau diri anak haram!" Teriaknya tepat di depan wajahku.
Kulihat Kintan menarik lengan Rita, "Giliran gue."
"Gia, gue cuma mau peringati lo! Jangan deket-deket sama Bian maupun teman-temannya! Apalagi Vito! Gue bakal nglakuin hal yang lebih buruk dari ini kalo lo masih tetep deket mereka!" Ucap Kintan menusuk.
Aku menangis tersedu-sedu. Keempat siswi itu justru menikmati pemandangan diriku yang menangis dan dalam keadaan sangat berantakan.
Namun siapa yang menyangka, Bian dan teman-temannya tiba-tiba datang. Mendobrak pintu toilet yang sepertinya memang sengaja dikunci Kintan dan teman-temannya tadi.
"Bangsat lo apain Gia!" Teriak Bian marah.
Keempat cewek itu terdiam. Mereka sangat terkejut dengan kedatangan Bian.
"B-Bian?" Rita menjadi yang paling terkejut diantara mereka.
"Keluar lo dari sini sekarang. Tapi inget urusan lo sama kita belum selesai. Lo udah keterlaluan sama Gia. Itu artinya lo udah nyari masalah sama gue," Bian mendorong kasar Rita lalu menghampiriku.
"B-Bian a-aku..." Rita ingin membela diri, tetapi salah satu teman Bian menariknya.
"Udah pergi sana cewek gatel! Mampus kalian semua!" Ucap lelaki itu.
Ketika ingin keluar, aku melihat Vito menahan lengan Kintan, "Lo urusin temen-temen lo itu! Lo semua cari masalah sama orang yang nggak tepat." Ujarnya lalu menyentak tangan Kintan.
Aku juga mendengar Juna memperingati mereka dengan ucapan yang tenang tanpa emosi sedikitpun.
"Kalian semua pergi aja sekarang. Tinggal tunggu panggilan dari BK aja ya," ujarnya tenang.
Bian mendekat padaku yang masih menangis.
"Gia maafin gue," ucapnya penuh penyesalan.
Aku hanya terisak sendiri, aku tidak menyalahkannya atas apa yang menimpaku ini. Sampai akhirnya cowok itu merengkuh tubuhku. Ia seperti tidak peduli dengan seragamnya yang ikut basah. Dia memberikanku sedikit ketenangan.
Emosinya benar-benar tak terduga. Ini pertama kalinya aku melihatnya marah, sangat marah. Tetapi, setelah melihatku ia langsung merendahkan nada bicaranya. Meminta maaf dengan penuh rasa sesal. Padahal sebenarnya ia tak perlu berbuat seperti itu. Itu bukan salahnya.
"Aku mau pulang." Bisikku pelan.
Aku bahkan melupakan ketiga teman Bian yang masih berada di dalam. Aku keluar dari toilet dikelilingi keempat cowok itu. Mereka ingin menemaniku ke kelas.
* * *
Di sepanjang koridor, banyak yang berbisik-bisik melihatku. Ada yang memperhatikanku karena basah kuyup. Ada juga yang hanya iri denganku. Dan ada pula yang menghujatku. Aku hanya bisa menunduk.
Bian menggenggam tanganku, menguatkanku secara tidak langsung.
"Ih tadi katanya itu si Gia disiram sama Rita loh."
"Iya bener. Emang pantes sih digituin. Udah anak haram kebanyakan gaya lagi!"
"Liat aja tuh! Sok sok an nangis biar Bian simpati sama dia."
"Kesel gue liat dia dikerubungi Bian, Vito, Juna, sama Fadel."
"Mau-mau aja sih mereka deket sama anak haram, miskin lagi. Mendingan kita jauhlah! Sampah masyarakat!"
"Mulut kalian semua tuh sampah!" Ujar Vito tiba-tiba.
Ia menatap tajam seluruh siswa yang mengataiku di sepanjang koridor, "Punya mulut kalo cuma bisa buat ngejelekin orang lain gitu, mending bisu aja lo pada!"
Mereka langsung diam mendapat bentakan Vito.
Namun ketika sudah belok di koridor lain, kembali ada yang berbisik-bisik. Tapi lebih banyak yang menatapku rendah. Mungkin sedikit takut untuk menghinaku di depan Bian dan teman-temannya ini.
"Eh itu mata gue colok satu-satu ya!" Teman Bian yang ku tahu bernama Fadel berucap demikian.
Beberapa dari mereka terlihat langsung mengalihkan pandangan, sementara beberapa lainnya mencibir dengan pelan.
.
.
.
.
.
.
.Annyeong guys, maaf banget ya partnya pendek hiks.
Thanks buat yang udah baca:)See you next!
Ayyaaryzka
_____💚_____
KAMU SEDANG MEMBACA
TEARS
Подростковая литератураOrang bilang cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Tapi mengapa ayahku justru menjadi orang yang paling ku benci di dunia ini? Aku, korban keegoisan orangtuaku-ayahku. Aku sangat membencinya. Dia telah menyakitiku dan ibuku. Bukan mem...