Sejak semalam, Ibuku tampak murung. Aku menyesal telah meladeni pria itu. Andai saja aku tak mengacuhkannya, pasti Ibu tidak akan sesedih ini.
Ahh, pagi ini seperti biasa aku akan berangkat sekolah mengendarai angkot. Jarak rumah dengan sekolah tidak terlalu jauh. Tapi aku selalu berangkat pagi. Menurutku lebih pagi sampai di sekolah, lebih baik. Itu berarti aku tidak akan banyak bertemu orang karena mereka belum sampai di sekolah.
"Ini, Gi. Mama udah siapin bekal buat kamu. Dihabisin ya."
Setiap hari aku memang selalu membawa bekal. Supaya aku tidak perlu ke kantin. Tapi kadang aku juga pergi ke kantin kok, tapi jarang sekali. Paling ke sana cuma sebentar dan langsung kembali ke kelas.
"Makasih Ma udah nyiapin," ucapku tersenyum.
"Iya. Sekarang sarapan dulu."
Syukurlah Ibuku sudah tidak sedih lagi. Aku tidak suka melihat orang yang ku sayangi sedih.
* * *
Aku sudah sampai di sekolah. Saat ini masih cukup sepi, tak banyak siswa ku temui di koridor. Bahkan, ketika aku memasuki kelasku belum ada satu-pun orang di dalam sana.
Mengeluarkan beberapa buku paket, aku mulai membacanya. Dengan telinga tersumbat earphone tentunya.
Aku berhenti membolak-balik halaman bukuku. Entah kenapa aku teringat perkataan ibuku. Mempertimbangkan Bian untuk menjadi temanku.
Jujur saja, aku takut jika Bian akan berbuat kurang ajar padaku, tapi ku pikir dia bukan laki-laki seperti itu 'kan?
Tapi ada alasan lain, masalahnya tidak pada dirinya tapi pada orang lain. Yang ku sadari, banyak siswi yang membenci diriku karena katanya Bian menyukaiku. Padahal itu hanya 'katanya' dan aku-pun tidak mengenal Bian. Lalu bagaimana jika aku berteman dengannya? Akankah mereka semakin membenciku?
Aku sudah cukup menderita dengan kebencian mereka selama ini. Lantas bagaimana jika mereka semakin mengucilkanku?
Aku mengusap wajahku. Ahh, kesal sekali hanya untuk memikirkan hal seperti ini. Apa mungkin sebenarnya aku tidak ditakdirkan mempunyai teman ya?
"Mikirin apa sih serius banget?"
Astaga, aku hampir terlonjak karena terkejut mendengar suara itu. Sejak kapan laki-laki ini masuk kelas dan duduk di sampingku?
Aku hanya menatapnya sebal. Tak berniat sedikit-pun menyahuti ucapannya.
"Kenapa sih kayaknya sebel banget liat gue? Gue ada salah sama lo?"
"Nggak," jawabku sekenanya.
"Ya elah jutek amat sih. Kalo emang nggak ada salah, kenapa gue dicuekin terus?"
Aku membuang nafasku kasar. "Apa semua yang aku jelasin kemarin nggak cukup buat kamu paham?"
"Kamu nggak seharusnya temenan sama cewek kayak aku." Lanjutku sambil melepas earphone dari kedua telingaku.
"Kalo gitu lo jadi pacar gue aja. Jadinya kita nggak temenan," frontal sekali ucapan Bian, sampai-sampai aku melotot ke arahnya.
"Dasar stres!"
Dia justru tertawa mendengar ucapanku. Apa lucu ketika aku sedang mengumpati orang? Pada bagian mana yang membuatnya tertawa, heran aku.
"Gue bercanda doang elah," dia tertawa lagi sebelum akhirnya menatapku.
"Lagian gue kemarin kan udah bilang, gue nggak peduli sama latar belakang lo dan apa kata orang tentang lo. Gue cuma pingin berteman sama lo. Udah itu aja."
![](https://img.wattpad.com/cover/236142874-288-k944976.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TEARS
Teen FictionOrang bilang cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Tapi mengapa ayahku justru menjadi orang yang paling ku benci di dunia ini? Aku, korban keegoisan orangtuaku-ayahku. Aku sangat membencinya. Dia telah menyakitiku dan ibuku. Bukan mem...