Gendis: insecure

1.7K 71 3
                                    

Sudah dua minggu kami disini, aku sudah bosan dan merasa tidak nyaman karena hampir tiap hari ada keluarga nya yang datang. Kami harus segera keluar dari sini. Pagi ini saat sarapan aku harus bicara padanya.

"Mas Bian, kami akan kembali ke Yogya." Singkat dan langsung seperti dia.

"Tidak, aku akan mengajak anak-anak ke Jepang menemani ku bekerja."

"Apa? Kenapa mendadak?"

"Tidak mendadak, aku baru akan memberi tahumu sekarang." Ishh ini orang.

"Anak-anak tidak punya paspor." Aku juga sih, tapi itu tidak ku suarakan.

"Sudah aku urus."

"Emh..." Ya, pasti hal seperti ini gampang saja untuknya.

"Anak-anak sudah tahu?"

"Sudah semalam."

"Emh..." Aku sedih, kenapa anak-anak tidak memberitahu? Padahal semalaman kami bercerita dan bernyanyi sampai larut, apakah aku sudah terabaikan?

Air dan Banyu turun dari kamar mereka, sudah mandi dan berganti pakaian. Walau baru 5 tahun tapi mereka sudah mandiri.

"Selamat pagi ibu, selamat pagi ayah."

Banyu turun dari lantai atas dengan seluncuran di pegangan tangga.

"Banyu!" Aku refleks teriak marah karena takut kalau dia jatuh. Banyu memelukku, lalu aku jewer kupingnya.

"Kalau jatuh bagaimana hah? Kalau sampai bocor kepalanya gimana?" Marahku pada anak laki-laki ku yang lincah ini.

"Aduh sakit Bu, kan ga jatuh, ibuuuu..."

"Anak ini! Kalau dibilangin pasti jawab!" Banyu menepis tanganku.

"Ibu galak! Banyu ga suka! Banyu sayangnya sama ayah aja!" Banyu merajuk dan memeluk ayahnya, ayahnya membelai rambut Banyu. Kenapa dia malah membela anak?

"Ayah, kita ke Jepang nya kapan? Kita naik pesawat ya yah? Banyu belum pernah naik pesawat. Banyu ga sabar..."

"Ayah Air pengen ke Disneyland, nanti di ajak ke sana ya?" Air juga memeluk ayahnya.

Aku tersenyum getir.

Apakah aku sudah tersingkir?

"Ibu ikut juga ga yah?" Air bertanya pada ayahnya. Aku yang menjawab.

"Kalian pergi sama ayah aja ya. Ibu akan kembali ke Yogya, nanti kalian pulang langsung ke Yogya aja ya?"

"Kenapa ibu ga ikut?" Air bertanya dengan raut sedih.

Aku harus jawab bagaimana, kami sudah bukan suami istri sayang, canggung sekali kalau harus pergi bersama. Aku hanya tersenyum.

"Ibu harus ngurus sawah, kan sudah mau panen."

"Kami pergi hanya seminggu, kamu ga usah kuatir, nanti anak-anak aku antar ke Yogya." Mas Bian berjanji, baiklah aku percaya dia tidak akan membawa kabur anak-anak.

Akhirnya hari ini mereka terbang ke Jepang, perasaan takut kehilangan, perasaan ditinggalkan, juga perasaan kecewa hadir dan menerjangku bertubi-tubi. Kenapa anak-anak tidak memilih bersama ibunya? Kenapa anak-anak sekarang dekat dengan ayahnya? Perasaan insecure seperti ini harus aku tekan. Ayo berpikir positif Gendis, semua akan baik-baik saja.

"Ibuuuu..." Air berteriak dan melambaikan tangannya.

"Jaga diri ya, telpon ibu, kamu hapalkan nomor ibu?" Aku juga melambaikan tangan dan mengingatkan anakku sekali lagi untuk menelpon ku.

"Iya Bu... Bye bye..."

Bye... Seminggu terlalu lama sayang, ibu sudah merindukan kalian sekarang. Aku pulang dengan gontai, aku juga pulang dengan pesawat, Mas Bian berbaik hati membelikan ku tiket pesawat. Enak juga naik pesawat, cepat, siang hari aku sudah di rumah. Membersihkan rumah yang kotor karena 2 minggu lebih ditinggal.

"Kulo nuwun..." Itu suara Mbok Inem.

"Monggo mbok, maaf mbok, baru beberes rumah. Masuk mbok."

"Mbok lihat kok gerbangnya terbuka tapi kok ndak ada anak-anak?"

"Anak-anak pergi mbok."

"Pergi kemana?"

Akhirnya aku bercerita semuanya pada Mbok Inem, orang yang sudah aku anggap seperti kelurga ku karena beliau selalu perhatian pada kami.

"Oh jadi anak-anak sudah bertemu ayah nya. Syukur kalau begitu. Semoga kalian juga bisa rujuk lagi."

"Emh, kalau rujuk sepertinya ngga mungkin ya mbok."

"Kenapa ndak mungkin, ya mungkin saja kalau masih ada cinta." Dengan logat Jawa nya yang kental itu Mbok Inem berbicara seakan Mas Bian pernah mencintaiku. Jadi aku hanya tersenyum.

"Yang penting anak-anak bahagia mbok. Oh iya, ini ada oleh-oleh dari Jakarta. Bir pletok sama kaos potret Monas."

"Owalah nduk, mosok wong tuo dikasih minum bir? Ndak mabuk mengko?" Mbok Inem marah diberi bir pletok, lucu sekali.

"Bir pletok ki udu bir alkohol mbok, iki koyo wedang uwuh kae loh mbok, mung jenenge bir pletok."

"Owalah..." Lucu sekali orang tua ini, lugu sekali.

Sehari berlalu tanpa anak-anak rasanya ada yang kurang, hidupku jadi hampa, begini salah begitu salah. Biasanya malam hari begini kami bermain musik, biasanya aku main gitar, Banyu main cajon dan Air bernyanyi, tapi kadang kami bertukar posisi, aku cukup baik dalam bermusik jadi aku ajarkan semua yang aku tahu tentang musik pada anak-anak.

Belum ada kabar dari mereka, mungkin mereka masih lelah. Aku selalu mencoba berpikir positif.

Aku menunggu kabar hingga larut malam, tapi tidak ada kabar, menunggu terus menunggu hingga kelelahan dan tertidur.

Anak-anak apakah kalian melupakan ibu?

Kawin Kontrak : Dalam Miskin Dan Kaya? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang