Gendis: Hilang

1.5K 63 0
                                    

Setiap hari Air dan Banyu meneleponku, video call, mereka tampak bahagia sekali, Bian benar-benar memanjakan mereka. Aku bahagia karena anak-anak bahagia. Tapi tetap saja ada sedikit rasa sakit di dada, mungkin aku kecewa pada diriku sendiri yang tidak mampu memberikan kemewahan seperti itu untuk anak-anak.

Selama anak-anak tidak ada aku menyibukkan diri di sawah, lalu setelah itu aku olahraga, aku lumayan rajin olahraga, karena aku harus tampil di depan umum jadi aku harus punya body yang berbentuk, bentuk bagus tentunya. Walau usiaku sekarang 30 tahun tapi body ku masih 17 tahun, aku selalu dikira kakak si kembar bukan ibunya.

"Ndis, jadi besok jemput si kembar?"

Mas Arka si mandor lagu datang ke rumahku, dia memang sering main ke rumahku, dia pernah menyatakan perasaannya padaku, tapi aku menolaknya dengan alasan aku lebih suka berteman dengannya, padahal hatiku masih menjadi milik ayah si kembar.

"Jadi mas, ngerepotin ga?"

"Ya ngga dong. Besok berangkat jam 5 sore ya?"

"Siap."

"Kamu sekarang mau ngapain Ndis?"

"Manen cabe sama terung. Ngewangi po?"

"Hooh kene tak ewangi (iya, sini aku bantu)"

Ya begini keseharian ku di kampung, hidup sehat dan bahagia, hidup seperti ini sudah cukup buatku, tapi buat anak-anak mungkin tidak. Ahh, mungkin hanya perasaanku saja.

Aku udah kangen banget sama anak-anak, akhirnya hari ini mereka pulang. Tadi saat video call mereka memamerkan oleh-oleh buat ku, ada satu koper oleh-oleh, boros banget ga sih? Tapi senang juga dong dapet oleh-oleh.

Mas Arka menjemputmu tepat waktu, kami hanya butuh waktu 20 menit untuk tiba di bandara, karena jalanan Yogyakarta yang sepi dan Bandara Internasional Yogyakarta tidak terlalu jauh dari rumah.

Seharusnya mereka tiba di Yogya pukul 18.00, karena mereka naik pesawat pribadi milik ayahnya, harusnya tidak terlalu lama kami menunggu.

Sudah lewat 1 jam dari jadwal kedatangan mereka, tapi belum juga datang. Aku mencoba menelepon nomor yang biasa di pakai Air menelepon ku, tapi tidak tersambung.

"Sabar, tunggu sebentar lagi, mungkin masih delay." Mas Arka mencoba menenangkan ku.

Aku juga berpikir positif, tapi perasaan ku tidak enak, aku merasa ada yang salah.

Aku menyesal, seharusnya aku menyimpan nomor Bian.

Sudah lewat 2 jam, aku memutuskan bertanya pada bagian informasi.

"Maaf Bu tapi hari ini ijin landing pesawat pribadi sudah tidak ada lagi."

"Apa?!"

"Ibu yakin landing-nya di bandara sini Bu?"

Aku, aku yakin, begitu kata Air pagi tadi, mereka minta aku menjemput di bandara Yogya.

Ya Tuhan... Lalu, lalu dimana mereka sekarang? Mendadak, aku gemetar, sekujur tubuhku keringat dingin, perutku mulas, aku kuatir, sangat kuatir, aku takut kalau ketakutan ku menjadi kenyataan. Bian mengambil anak-anak.

"Ndis, kamu gak papa? Kamu pucat. Jangan kuatir ya, ayo kita cari anak-anak. Aku akan telpon temanku di Jakarta, mungkin mereka masih ada di Jakarta."

Aku mengangguk, aku masih berkecamuk dengan pikiran-pikiran ku, Bian tidak mungkin mengambil anak-anak begitu saja, anak-anak bisa membencinya, atau jangan-jangan anak-anak diculik. Oh Tuhan... Tolong lindungi anak-anak ku.

"Di Jakarta ijin pesawat pribadi tidak ada yang dari Jepang, Ndis."

"Mas, aku harus ke Jakarta, aku harus mencari anak-anak!"

"Tapi kamu ga bawa persiapan Ndis."

"Mas, pesankan aku tiket sekarang mas, berapa pun harganya. Tolong mas... Tolong..." Sambil menangis aku memohon pada Mas Arka untuk mencarikan aku tiket.

"Ya, aku akan carikan, kamu tenang dulu disini, berdoa ya."

Aku mengangguk. Mas Arka berlari ke konter maskapai yang masih buka.

Mas Arka menemani ku ke Jakarta, dia juga sudah minta Rita salah satu anggota band kami untuk menjaga rumahku, siapa tahu anak-anak pulang.

Sepanjang perjalanan aku gelisah, aku benar-benar panik.

Setibanya di Jakarta kami langsung menuju rumah Bian di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Sudah pukul 12 tengah malam aku tiba di depan rumahnya. Aku pencet bel rumahnya seperti orang gila. Seorang satpam berjalan menuju gerbang. Aku tidak jelas melihat wajahnya. Tapi seharusnya dia mengenaliku karena baru seminggu yang lalu aku tinggal disini.

"Kalian siapa? Kenapa malam-malam mencet bel kayak orang kesurupan!"

"Pak, bapak ga kenal saya? Tolong pak panggil Bu Sari, saya ingin bertanya pada Bu Sari."

"Ngapain kamu nyariin kepala pelayan kami jam segini? Kamu mau nipu ya? Pergi sana pergi!"

"Pak, tolong pak, panggil Mas Bian, bilang saya mencari anak-anak."

"Kamu ya! Kamu siapanya Tuan Besar? Jangan sembarangan kamu!"

"Pak Satpam, dia ini mantan istri nya tuan besar mu itu! Panggil cepat tuanmu" Mas Arka marah dengan perlakuan satpam pada kami.

"Sudah pergi sana! Atau saya telepon polisi!"

"Bajigur! Satpam brengsek!" Mas Arka marah, hampir menghajar satpam itu.

"Sudah mas, kalau kita tidak diijinkan masuk, kita tunggu diluar saja."

Aku akan menunggu sampai Bian keluar. Tapi malam semakin dingin, aku tidak membawa jaket dan aku belum makan dari siang tadi. Aku lelah, lapar, dan kecewa. Hujan deras juga datang menambah kekalutan dalam dada.

"Ndis, ayo kita cari penginapan terdekat, besok pagi kita datang lagi."

Aku mengangguk, aku harus memikirkan Mas Arka, kasihan dia kalau harus ikut kehujanan.

Kawin Kontrak : Dalam Miskin Dan Kaya? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang