Teknik penulisan: Monomyth
---Wibu mendesakku untuk segera menunaikan tugas terakhir saat aku tengah mengelap jendela apartemen yang ditempeli banyak debu dan jelaga hitam. Karena aku tak menggubris desakannya, dia berjanji akan memberiku banyak uang dan mengirim sepaket dim sum tiap pagi selama sebulan penuh.
Akan tetapi, aku tahu Wibu itu orang kaya dan dia tidak akan bertanggung jawab secara penuh terhadap nyawaku, jadi kubilang dia harus memberiku HK$10000 sebagai uang muka, HK$20000 sebagai kompensasi, dan HK$2000 sebagai tanda persahabatan mutualisme. Totalnya HK$32000 dan dia merengek kencang minta keringanan.
“HK$32000 itu termasuk murah bila menyangkut nyawaku! Lagi pula kau hanya mempersenjataiku flashbang, beberapa granat, Glock 22, AK-47—ini senjata jadul, aku akan kesulitan melawan robot-robot itu sendirian! Apa kau tidak bisa memberiku yang lebih baik dari ini?”
Wibu memberiku sebuah lempengan lingkaran hijau norak seukuran telapak tangan. “Tempelkan itu pada leher Kyuubi.” Dia merogoh kantong jaketnya lagi, lalu melempar sekeping koin bulukan yang tak jelas tulisannya. “Dan semoga jimatku yang ini memberimu keberuntungan nantinya.”
Aku mendesah, ini masih terlalu pagi untuk membentak Wibu. Alhasil aku menatap langit pagi yang berawan demi mengalihkan perhatianku padanya.
Wibu sebenarnya tidak salah mendesakku untuk segera bergerak.Seharusnya sudah seminggu yang lalu aku mencabut mikrokontroler Kyuubi dan memberikannya pada Wibu, tapi aku malah memilih untuk berdiam diri di apartemen sewaan yang kumuh ini karena terlalu ragu melawan robot besar itu.
Dari delapan robot yang telah kukalahkan selama ini, Kyuubi-lah yang membuatku gentar, ditambah dengan senjata api ala kadarnya membuatku berpikir apakah aku sanggup bertahan melawannya?
Pada akhirnya aku tak bisa menghindar lebih lama lagi. Perjanjian yang telah kubuat dengan Wibu harus dilaksanakan. Ini adalah yang terakhir, setelah itu aku dan Wibu pergi meninggalkan Hong Kong membawa kesembilan komponen inti jika aku berhasil mengalahkan Kyubi.Maka, dua hari setelah mendengar rengekan Wibu, aku beranjak meninggalkan apartemen sembari mengenakan sarung tangan, tas, masker, rompi, dan jaket longgar selutut beserta tudungnya untuk menutupi senjata api yang menggantung di punggung.
Pada malam hari, saat hujan deras tepatnya, aku pergi ke gorong-gorong yang terletak cukup jauh dari gedung apartemenku—menjumpai Wibu yang telah menyiapkan senjata-senjata usang untukku.
“Aku memandumu lewat earpiece, jadi dengarkan baik-baik, ya?”
Wibu selalu mengatakan kalimat itu tiap kali aku hendak memulai pergerakan. Aku mendesah kasar dan mengangguk kecil. Tanpa banyak basa-basi kuhidupkan senterku lalu pergi melintasi gorong-gorong yang bau busuknya tidak pernah membuatku nyaman, toh kapan aku pernah mencium gorong-gorong sewangi sabun mandi?
Padahal aku mengenakan masker yang cukup tebal, tapi siapa sangka segala jenis sampah kalau disatukan baunya akan memuakkan seperti ini? Kadang aku menemukan gundukan sekental lumpur, tapi aku berani bertaruh itu kumpulan berbagai macam tahi dengan seekor tikus got yang mati di puncaknya.
Aku hampir muntah—setidaknya hampir saat kakiku buru-buru lari terbirit-birit meninggalkan gundukan demi gundukan. Persetan suara gema yang dihasilkan! Tidak ada polisi yang mau berpatroli di gorong-gorong sejorok ini.
“Dengan Wibu, apa kabarmu di sana?”
Buruk! Di sini sangat buruk! Aku dikelilingi tahi-tahi lembut dan air comberan. Terkadang aku mendengar kaki tikus-tikus hitam jorok merayap di pipa-pipa yang sama joroknya, itu menggelikan! “Dengan Niko ….” Aku mendesah kecil. “Aku baik-baik saja,” lirihku tak sanggup berkata apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Historiarum
Science FictionAntologi cerpen fiksi ilmiah karya member Scientist (1)