Teknik penulisan: Sparklines
---"LIMA BABI KECIL pergi ke pasar–"
"Hentikan lagu itu," potong seseorang.
Pria yang tengah menyanyikan lagu itu langsung menoleh. Ia memiringkan kepala, menatap tidak mengerti pada wanita paruh baya yang menatapnya horor. "Memang kenapa?" tanyanya."Lagu itu menyakiti telingaku."
"Kenapa? Aku hanya menyanyikannya karena aku merasa–"
Sang wanita membanting nampan berisi mangkuk bubur dan air putih ke lantai. Rautnya berubah, wajahnya memerah bak kepiting rebus.
"Kenapa?"
"Banyak babi yang akan jadi korban–"
"Hanya lima, kok, tidak lebih." Pria itu menoleh ke jendela, memperhatikan lepas pantai dengan deburan ombak yang suaranya terdengar hingga ruangan itu. "Lima babi kecil pergi ke pasar ...."
***
Badanku sakit. Gelang yang dipasang di tanganku mulai bereaksi, mengirimkan rasa sakit yang membuatku mual. Aku hanya bisa meringis tanpa perlawanan. Akhirnya, tubuhku menabrak dinding metal dan merosot jatuh. Peluh membanjiri tubuh, sedangkan rasa sakit ini kian menjadi-jadi.
"Kumohon, hentikan ...," lirihku.
Sementara itu, wanita yang tak kuketahui namanya yang berdiri di hadapanku hanya tersenyum miring. "Kau mencoba kabur dari tempat ini. Maka, terimalah hukumanmu."
"Tidak–"
Wanita itu mendekatkan jarinya pada permukaan tombol di remot yang bisa mengendalikan gelangku. Aku tahu ia takkan berani melakukannya, karena selama ini, ia hanya bisa menggertak saja. Ketika tombol maut itu ditekan, gelang hukuman di tanganku akan mengalirkan listrik bertegangan tinggi yang kemungkinan bisa menewaskanku.
"Kau mau aku menekan tombol ini?" ancamnya.
Aku hanya bisa menggeleng lemah. Tenagaku habis.
"Maka jadilah anak baik!" bentaknya, lantas dilayangkannya tendangan ke kepalaku. "Kau tidak pernah berubah, Al!"
"A-aku ... aku berjanji ... akan ... berubah ...," lirihku. Sebenarnya aku sudah tidak kuat lagi untuk bicara, tetapi kukerahkan sisa tenagaku hanya untuk mengeluarkan suara.
"Yang benar?!"
Aku mengangguk lemah. Tanpa sadar kristal bening meluruh keluar dari mataku. Entah karena kesakitan, entah karena merasa terluka. Aku bahkan tak bisa membedakan perasaanku sendiri. Satu tendangan dilayangkan lagi, membuat tubuhku kian lemas.
"Sakit ...," lirihku lagi, kali ini sambil menangis. "Kumohon hentikan. Hentikan ini ...."
Wanita itu terdiam. Aku tidak tahu dia merasa iba atau apa, karena ini pertama kalinya aku menangis di hadapannya. Tak kusangka, wanita itu benar-benar menghentikannya. Ia pergi begitu saja tanpa pamit. Lagi pula, kalau dipikir-pikir, mana mungkin ia mau mengucapkan salam perpisahan?
Berusaha menopang tubuhku, aku mencoba untuk bangkit. Namun, sayangnya aku tak punya cukup tenaga untuk itu.
"Butuh bantuan, Kawan?"
Aku menoleh. Sosok laki-laki yang familiar berjongkok di hadapanku dengan tubuh yang bergoyang dan ada dua–ini semua karena pandanganku yang berbayang lantaran pusing mendera kepalaku. Netra hijau zamrudnya menatapku. Ia lantas membantuku berdiri dan langsung menopang tubuhku ketika mengetahui bahwa aku tak bisa berdiri dengan benar.
"Kau kenapa lagi, Al?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Historiarum
Science FictionAntologi cerpen fiksi ilmiah karya member Scientist (1)