Teknik penulisan: The Mountain
---Satu baut lagi terpasang pada robot itu, dan selesai. Robot pelayan buatanku selesai dirangkai. Kusambungkan dua buah kabel berwarna merah dan biru masing-masing, dan hal itu membuat benda buatanku sedikit bergetar; beberapa lampu indikatornya menyala dan layar menampilkan logo yang kubuat sendiri—bertuliskan 'Zee – your personal assistant'.
Robot itu terlihat aneh karena aku belum memasang badannya, terlihat seperti sebuah boks seukuran kardus kulkas yang dikelilingi sekumpulan kabel dan motherboard yang menyala-nyala dan bergetar kecil dengan roda kecil di bagian bawahnya dan layar di bagian atas.
Layarnya berubah, tak lagi menampilkan logo. Ia kini menampilkan dua buah mata berwarna biru—dan aku baru menyadari bahwa itu cukup mengerikan, mungkin nanti akan aku ubah menjadi hanya garis gelombang suara saja.
"Halo, aku Zee. Asisten pribadimu." Robot kecil itu mengeluarkan suara yang sebenarnya merupakan suaraku yang aku rekam dan ubah menjadi sedikit tinggi—menyerupai suara perempuan.
"Ehm, halo." Aku mencoba bersuara, menunggu respon dari robot itu.
"Halo, Alton." Zee—robotku—menjawab, butuh beberapa waktu baginya untuk memproses suaraku. Tapi mungkin itu bukanlah sebuah masalah besar.
Aku menghela napas dan kembali menguji kemampuannya. "Apa yang bisa kau lakukan?" Tanyaku. Terdengar sedikit lucu karena aku merasa seperti berbicara dengan diriku yang lain—dalam versi beda gender.
"Aku bisa menyanyi untuk menghiburmu, menjadi perpustakaan, ensiklopedia, memainkan beberapa musik, menyetel film melalui projektor, dan membuatkanmu beberapa kue."
Sejauh ini berjalan lancar, apa yang kuprogram berjalan dengan baik. Ia menuruti apa yang kukatakan dan menjawab apa yang kutanyakan. Aku berjalan menjauhinya, mengitari ruangan apartemen sempitku yang hanya beberapa meter persegi itu. Sensornya bekerja, bagian depannya selalu menghadap ke arahku dan sesekali roda kecilnya bergerak mengikuti kala aku dalam radius dua meter lebih jauh.
Angin kembali berhembus dari hidungku. "Bisakah kau membuatkanku kue?"
"Kue apa yang kau inginkan? Cupcake? Taart? Tiramisu? Black—"
"Cupcake." Aku memotong perkataannya, jika aku menunggu itu mungkin butuh seharian penuh untuk mendengarkan jenis-jenis kue yang ia katakan—karena aku merekam seratus jenis kue yang berbeda.
"Oke, cupcake akan segera datang."
Layarnya lalu berubah, animasi sebuah cupcake berwarna cokelat dengan krim berwarna putih dan ceri merah di bagian atasnya muncul seketika, berputar lambat seakan berada dalam microwave. Tapi tak butuh waktu satu menit sampai layar animasi cupcake itu berhenti berputar, ia berkedip. Ah, cupcake-nya sudah siap.
Jantungku berdebar, ini adalah salah satu fitur yang akan kubanggakan nanti, terlebih pemrogramannya cukup rumit jika dibandingkan dengan bagian yang lain.
"Ini cupcake-mu." Suara Zee kembali terdengar, bagian depannya terbuka dan—
Robot itu melemparkan sebuah cupcake ke arahku. Bukan hanya satu, dua, atau tiga. Ia terus menerus melemparkan kue itu sembari berkata "Ini cupcake-mu."
Tanganku menghalangi wajahku, takut-takut kalau kue bertoping itu mengenainya. Aku berlari menghindar berkeliling ruang sempit apartemen, tapi sialnya sensor Zee bekerja dengan baik—membuat kue buatannya berhasil mengenai tubuhku.
"Zee, berhenti!" Dengan sedikit berteriak, aku memerintahkannya.
"Oke, berhenti."
Serangan cupcake berhenti saat itu juga, namun meski begitu tubuhku telah penuh dengan krim toping berwarna putih dengan perisa vanila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Historiarum
Science FictionAntologi cerpen fiksi ilmiah karya member Scientist (1)