Teknik penulisan: sparklines
---Napasku sesak sebab terlalu banyak menghirup debu. Wajahku juga berulang kali menyapu rumah laba-laba dan membuatku kesulitan membuka mata.
Alat pemancar cahaya yang keluar dari ujung jariku menyorot tepat pada pintu kayu yang lapuk dan digerogoti rayap. Aku yakin dia pasti bersembunyi di sini.
Hampir dua jam sudah aku mencari si tengil itu. Rumah baru ini terasa semakin meluas saja tiap kujejaki sudut-sudutnya. Sebelum keketuk pintu lapuk ini, tiba-tiba saja pintunya terbuka dan menampilkan si tengil ini degan wajah sumringah seolah baru ketiban uang satu karung.
“Benar-benar hebat di dalam sana!” ditariknya tanganku secara paksa memasuki ruangan rahasia ini.
Tenaga bocah ini kuat juga, hingga pergelangan tanganku merah dibuatnya. Hal ini membuatku berpikir dua kali akan keasliannya sebagai saudara kembarku.
Aku sudah berfirasat, mengadakan permainan petak umpet di rumah baru yang bahkan belum kami tiduri barang satu malam adalah ide buruk. Di tambah, kami baru saja menemukan ruang bawah tanah yang tertutupi lukisan pohon cempaka besar yang diselimuti debu.
Ruangan ini tidak begitu besar. Hanya seukuran kamar mandi rumah lamaku yang berkisar 7×5 meter. Lantainya putih bersih dengan plafon kayu bergaris-garis yang menampilkan kesan elegan, kontras dengan bagian luarnya yang begitu kumuh. Pintunya terbuat dari bahan semacam aluminium berlapis kayu sehingga walaupun dari luar tampak lapuk, ruangan ini terjaga dan rapat.
Di tiap sudut dindingnya, penuh herbarium segar nan memanjakan mata. Begitu lengkap mulai dari bunga, daun, batang, bahkan akar. Keterangannya juga begitu lengkap, dari kelas sampai spesies.
“Begitu memasuki ruangan ini, aku lupa bahwa aku tengah petak umpet denganmu, haha.”
“Anak tidak bermoral. Anak siapa, sih, kamu ini?”
“Tentu saja aku anak dari ayah dan ibumu. Bagaimana, sih,” tangan lincahnya menoyor kepalaku.
“Omong-omong, aku menemukan diriku di sini. Juga kau.”
Dia menunjukkan herbarium daun di pojok ruangan yang tertulis namanya, Agathis Dammara. Tepat di sampingnya, terdapat namaku, Michelia Champaca.
Satu hal tentang Dammar, dia playboy kelas kakap. Humanoid manis milik pamanku saja pernah jatuh hati padanya. Jatuh hati di sini adalah kerusakan fungsi tiap mendapat sensor wajahnya.
“Cih, bahkan dalam wujud herbarium kau selalu menempel denganku.”
“Berisik, hei. Lihatlah, herbarium-herbarium ini tampak hidup. Dan jika dilihat arah sulur dan ujung daun-daunnya, herbarium ini mengarah pada ….”
***
Hujan asam terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya dalam bulan ini. Tanaman perkebunan di pekarangan rumah yang merupakan warisan turun-temurun, sudah mati sejak lama. Terakhir kali, aku ingat aku memanen jambu kristal bersama saudara kembarku sepulang dari taman kanak-kanak.
Esoknya, daun pohon itu mulai berubah warna setelah turun hujan semalaman. Hujan itu terus berlanjut hingga tak menyisakan pohon maupun tanaman apapun di kebun kami.
Iklim berubah drastis semenjak orang-orang gencar berlomba membangun gedung-gedung pencakar langit. Hanya beberapa bagaian di muka bumi ini yang tertutupi rimbunnya pepohonan, dan tentunya bukan di kotaku.
Tahun 2123, kami secara resmi pindah ke rumah baru kami yang teknologinya jauh berada di bawah kotaku yang dulu. Satu hal yang dapat diunggulkan di tempat ini, air bersih masih dapat dicari sekalipun itu sedikit.
“Kalau gim-gimku tidak mendapat cukup sinyal, aku mau kembali saja,” ujar Dammar di dalam mobil saat kami dalam perjalanan menuju rumah baru kami.
Kabarnya, rumah ini sudah lama tak berpenghuni. Aku sendiri tidak tahu bagaimana ayah bisa menemukan tempat ini.
Tak jauh berbeda dari tempat tinggalku sebelummya, di sekitar rumah baru kami hanya terdapat beberapa pohon. Kondisi tanah yang retak-retak bagai maskerku yang setengah kering dan dikacaukan oleh Dammar, sama seperti kotaku yang sebelumnya. Tetapi, langit pagi di sini masih cukup biru untuk kuunggah di media sosial.
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan suhu 45 derajat. Cukup membuatku mengahabiskan baterai kipas angin portable dua kali dalam sehari.
Begitu tiba di rumah baru kami, papa tentu saja langsung melakukan ritual wajibnya. Rebahan dengan handsfree dan hologram tarian samba di samping nakas untuk ditonton hingga terlelap.
Sementara itu, mama sibuk menata barang dibantu oleh Amber yang kurasa lebih berguna daripada diriku. Dia jauh lebih terampil menyusun barang dan menata sedemikian rupa hingga tampak elegan.
Aku begitu muak selalu dibandingkan dengan robot rendahan itu hingga rasanya ingin menendangnya jauh-jauh. Walaupun Amber menerima tendangan sekuat apapun dariku, dia masih bisa kembali dan menempel manja pada kaki mama. Dasar robot kurang kasih sayang.
Semua orang tampak sibuk, termasuk diriku yang menatap beberapa robot pekerja dari balik jendela. Bahkan sensor suhu dan peringatan bahaya keluar rumah baru dipasang setelah kepindahan kami. Kuharap aku bisa betah.
Aku hampir terlelap sembari mengawasi robot pekerja sebelum tangan dekil Dammar menarik rambutku. Di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, dia makin kekanakan.
“Ayo main petak umpet!
***
Panggilan beruntun dari mama yang menyuruh kami segera makan siang sama sekali tak kami indahkan. Dammar justru langsung mematikan benda dipergelangan tangannya. Suara melengking mama berhenti dan keadaan berubah senyap.
“Di bawah sini! Daun-daun herbarium itu menunjuk kesini.”
Dammar menginjak ubin yang warnanya tampak lebih pucat.
Sekeras apapun dia menghentakkan kakinya, tetap tak ada perubahan apapun.
“Pasti ada sesuatu semacam password tersembunyi,” celetuknya.
Tempat ini cukup sempit untuk dijelajahi detailnya. Seharusnya, kami bisa dengan mudah menemukan passwordnya.
Di antara banyaknya herbarium yang menempel pada dinding ruangan ini, herbarium daun pohon damar dan cempaka lah yang memiliki keanehan. Kacanya tampak lebih berkilau dengan bingkai yang dihiasi ornamen khusus. Perbedaannya memang cukup tersamarkan, tapi mata jeliku mampu menangkapnya.
Kuambil kedua herbarium berbingkai itu, dan benar dugaanku. Terdapat sensor telapak tangan dibaliknya, baik pada herbarium pohon damar dan herbarium pohon cempaka.
“Coba kau lihat ini, telapak ini, tampak seperti telapak tangan kita.” aku mensejajarkan telapak tanganku. Perlahan, kutempelkan tanganku pada alat sensor itu.
Suara nyaring terdengar beberapa saat setelah alat sensor itu menggetarkan tanganku.
“Selamat datang, Nona Cempaka. Mohon selesaikan input sensor untuk membuka ruang D20.”
Entah dari mana datangnya suara tersebut. Tapi aku yakin, yang harus dilakukan adalah sensor pada telapak tangan Dammar.
“Kau ini dungu atau apa? Kau tidak dengar perintahnya? Ayo lakukan seperti yang kulakukan tadi.”
Dia melotot sekilas ambil mendengus, lantas menempelkan telapak tangannya pada sensor di balik herbarium daun pohon damar.
Ubin yang tadi di injak-injak oleh Dammar bergetar hebat sebelum membuka lebar. Menampilkan anak tangga yang mengarah jauh ke dalam tanah. Lampu-lampu di bawah sana secara otomatis menyala.
Selamat datang, Tuan Dammar. Tangga ini akan membawa kalian pada ruang D20.
“Tunggu apalagi? Ayo turun. Dasar cewek penakut.”
Jika di dalam sana aku bertemu jin pengabul permohonan, aku minta agar Dammar lenyap saja. Itu lebih baik untukku.
Akhirnya kami berjalan menyusuri lorong yang menanjak. Seolah dari bawah tanah kami dibawa lagi menuju permukaan. Lorong-lorong ini tidak tampak seram, justru tampak seperti ada rahasia di dalamnya.
Benar saja, kami dibawa naik ke permukaan bumi yang penuh tumbuhan dan pepohonan rimbun dalam sebuah ruangan dengan atap transparan sehingga cahaya matahari bisa menerobos masuk. Dindingnya tampak gelap.
Aku tidak pernah tahu kawasan pepohonan seperti ini di belahan bumi manapun secara langsung. Di antara banyaknya tanaman, ada satu pohon yang menjadi pusat dan daun-daunnya berwarna paling hijau. Tampak seperti bukan pohon biasa.
“Pohon ini aneh, ada tombolnya pula.” Dammar berkata sambil menekan tombol pada batang pohon tersebut secara asal.
“Selamat datang di ruang D20. Tuan Setiadi sudah menyiapkan semua ini untuk kalian.”
Tuan Setiadi? Papa? Apa yang papa siapkan? Bukankah rumah ini baru untuk kami? Serentetan pertanyaan muncul di kepalaku sebelum lembar-lembar daun pada pohon setinggi lima meter itu menampilkan gambar-gambar rangkaian kejadian. Ini bukan pohon asli, melainkan pohon imitasi yang tiap lembar daunnya menyimpan memori di masa lalu.
Dammar menggenggam tanganku tatakala daun paling bawah menampilkan rekaman ayah yang tengah berkebun dengan kakek. Langitnya hijau, tanah-tanah masih subur dan kaya akan unsur hara.
Tetangga sekitar tempat tinggal aktif menyapa satu sama lain. Saling berbagi makanan walaupun itu sangatlah sederhana. Hal tersebut sama sekali tidak kudapati saat ini.
Tiap lembar daun itu mengisahkan perjalanan hidup papa hingga bertemu mama. Pelan-pelan kami menyadari sebuah keanehan. Semakin ke mari, papa dan mama semakin tampak menua. Tetapi aku dan Dammar bahkan belum lahir. Rambut papa sudah beruban, begitu pula rambut mama.
Kehamilan mama adalah saat di mana kulit mama mulai keriput. Rekaman kelahiranku dan Dammar menampilkan kami berdua yang berada dalam gendongan papa sewaktu baru lahir. Kulit kami bahkan masih merah. Tapi papa sudah tampak berusia 60-an.
Puluhan memori dari daun itu menampilkan bagaimana papa mendapat penyiksaan di usia tuanya. Papa di paksa menyelesaikan projek-projek teknologi canggih yang menyita tenaga dan pikirannya.
Hingga di video paling terakhir, tampak papa tengah menghadiri pemakaman.
Pemakaman mama. Ya, mama. Aku dan Dammar di sembunyikan bersama Amber di dalam kamar. Mama tewas terbunuh. Kami masih dalam tahap merangkak saat mama tewas mengenaskan.
Sepulang dari pemakaman, papa membuat rekaman dirinya yang tengah menahan tangis. Beliau baru pulang dari pemakaman. Papa mengucapkan beberapa patah kata.
“Berbahagialah kalian bersama humaoid papa dan mama. Juga bersama Amber. Dunia yang sekarang jauh lebih kejam. Saking kejamnya, papa dan mama tidak diberi kesempatan melihat kalian tumbuh dewasa. Jika kalian menonton rekaman ini, artinya kalian sudah berusia tujuh belas tahun. Setiadi-2028 sudah papa setel agar membawa kalian ke rumah ini pada usia tujuh belas.
“Jaga tempat ini baik-baik. Oksigen perlahan habis dari muka bumi. Papa ingin kalian tetap sehat. Karena menunggu kelahiran kalian, papa dan mama menunggu dalam waktu yang tidak sebentar. Hormati humanoid itu seolah-olah papa dan mama hidup di dalamnya. Selamat tinggal anak-anakku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Historiarum
Science FictionAntologi cerpen fiksi ilmiah karya member Scientist (1)