Teknik penulisan: The Mountain
---"Namanya Elang. Sesuai namanya, ia adalah sosok yang pemberani, kuat, dan cerdas."
Garuda mengulurkan berkas curriculum vitae yang memuat profil Elang di sana. Lelaki berjas putih dengan name tag 'Prof. Dr. Rajawali Kalindra, M.Sc' menggantung di saku dadanya itu mengangguk-angguk sembari meraih berkas yang diulurkan Garuda. Ditatapnya lamat-lamat foto Elang di sana.
"Sorot matanya menakjubkan," desisnya menarik sedikit kedua sudut bibirnya.
"Ya, bahkan saya juga masih memuja sorot mata tajamnya." Garuda mengulum senyum. "Di usia senja pun ia juga masih menyorotkan mata seperti itu."
Raja kembali mengangguk-angguk. Selang beberapa detik setelah membaca curriculum vitae Elang tersebut, ia mendongak dan mempertemukan pandangannya dengan Garuda. "Bisa Anda jelaskan dengan lebih detail? Saya penasaran," kekehnya.
Helaan napas panjang Garuda mengisi senyap. Matanya yang semula menatap ubin LED di bawahnya perlahan beralih ke depan. Dilihatnya Raja mengulas senyum tipis yang benar-benar tipis. Jika saja Garuda tak seteliti itu dalam menelusuri rupa Raja, maka ia tak akan pernah tahu jika lelaki di depannya ini tengah tersenyum.
"Anda ingin yang mana?"
"Maaf?"
Telunjuk Garuda mengetuk meja yang juga ber-LED transparan, tak ada niatan untuk menampilkan proyeksi atau apapun itu untuk menuruti permintaan Raja. Ia hanya mengetuk asal. Menciptakan irama ketukan tersendiri ketika berpikir adalah khasnya sejak pertama kali melihat bumi.
"Well," lagi-lagi Garuda menghela napas, "bisa Anda lihat di curriculum vitae-nya. Terlalu banyak peristiwa penting dalam hidupnya."
Raja kembali menaruh atensinya pada seonggok berkas di atas meja.
"Anda ingin yang mana?" ulang Garuda sedikit menekan.
"Yang paling penting saja," tukas Raja mantap. Tangannya yang saling menggenggam semakin dieratkannya.
Garuda memijit pangkal hidungnya pelan. "Anda kurang spesifik, Profesor Rajawali Kalindra. Sudah saya katakan, terlalu banyak peristiwa penting dan terlalu penting dalam hidupnya."
Genggaman pada tangan Raja yang saling bertautan itu melonggar. "Baiklah, bagaimana dengan perang dunia ketiga?"
"Anda yakin?"
Dahi Raja yang tertimpa cahaya lampu mengerut. "Ada apa?"
"Itu sudah lama sekali," desis Garuda kembali mengetukkan telunjuknya di atas meja. Kali ini ia serius hendak memunculkan proyeksi rekaman tentang apa yang sudah lalu ke lelaki di hadapannya.
Meja ber-LED transparan itu menguarkan hologram di atasnya. Terpampang kondisi sepuluh tahun lalu di sana, di mana asap membumbung hampir di setiap sudut pandang dengan sulut api yang beberapa kali meledak.
Raja menatap proyeksi itu lamat-lamat. "Tentu Anda tidak merasakannya."
"Tentu saja." Garuda berdecih.
Proyeksi itu perlahan-lahan menampilkan ruang laboratorium bawah tanah yang tahan dari semua jenis benturan di atas sana. Garuda memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya lagi dan mengulas senyum begitu melihat sosok Elang di sana. "Itu dia."
"Ia tak setua umurnya," komentar Raja sedikit takjub.
Lagi-lagi Garuda mendecih. "Tentu saja, ia selalu berjiwa muda bahkan saat ajal menjemputnya."
Raja tertawa, tak menggubris ekspresi Garuda yang berubah kesal. "Maaf maaf, saya hanya berkomentar."
"Jaga komentar Anda jika tak ingin perang dunia keempat meletus. Anda tentu ingat mengapa perang dunia ketiga meledak saat itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Historiarum
Ciencia FicciónAntologi cerpen fiksi ilmiah karya member Scientist (1)