Teknik penulisan: False start
---Kicauan burung-burung camar yang tak beraturan kian membuat para kolegaku mendongak alih-alih tetesan air hujan yang baru saja menghantam dahi mereka. Kurasa, lebih tepatnya mendongak karena sedikit terganggu dengan suara yang memekakkan ketimbang berusaha mengantisipasi dari kejatuhan bom putih.
Kepakan sayap yang jauh lebih cepat mendorong mereka menuju ke tepi pantai daripada rehat barang sebentar di atas buritan atau di pinggir pembatas kapal seperti kebiasaan menyebalkan mereka yang selalu bertengger seenaknya dan menambah pekerjaan kami. Kupikir mereka terlalu takut untuk sekedar mengganggu pesta ringan dan musik keras kami atau memang mereka tengah mengabari tentang sesuatu yang berada tak jauh dari kapal ini seperti ketika kami melakukan ekspedisi penelitian ke Indonesia satu setengah tahun lalu; sekawanan lumba-lumba berloncatan memamerkan kelihaiannya sehingga membuat Jack dan Doria berteriak kagum di geladak utama.
Tak pelak setelah beberapa menit, dugaanku terlampau benar. Aku terperanjat dan berdiri seketika di tengah kapal setelah menyadari keseimbangan kapal terasa berkurang, sedikit terguncang dan oleng karena sesuatu telah menerjang kapal. Berharap itu hanya hiu kecil atau mungkin anakan paus bungkuk. Sepertinya lebih baik jika itu lumba-lumba seperti waktu itu, aku rindu tawa manis kesayanganku.
"Dylan, periksalah apa yang terjadi!" teriak Frad, si pria berambut pirang itu dari anjungan kapal.
Kuputuskan mendekati pinggir geladak dan melongokkan kepala sejenak. Hanya ada pusaran gelombang berlawan arah dan sisa-sisa jalur renang ikan yang berbalik arah, menuju ke bawah. Mungkin hanya anakan paus yang sudah kembali berenang ke laut dalam ... atau mungkin monster itu lagi.
"Kurasa liburan menyelam kita berakhir, Frad!" teriakku kencang.
"Kita kembali sekarang!" putusnya.
Aku menilik kembali ke pinggiran kapal, memastikan untuk kedua kalinya. Benak ini hanya bisa berharap monster itu tidak datang lagi. Apabila benar itu makhluk yang menewaskan Jack dan Doria, aku akan sangat menyesal.
Ketika usiaku sepuluh tahun, ayah mengajakku untuk melakukan penelitian di Antartika. Aku ingat benar bahwa ayah bahagia sekali kala itu. Menemukan seekor Sarcosuchus Imperator dewasa yang membeku dan telah mati di dalam bongkahan es bukanlah hal kecil, melainkan penemuan terbesar yang pernah ayah lakukan di usianya yang kurang lebih tiga puluh tahun waktu itu. Warna metalik khas binatang itu bahkan tidak pudar sama sekali, dia hanya mati, namun tubuhnya masih tujuh puluh persen utuh. Es memang menyelamatkannya. Padahal sebagian besar penemuan ayah hanya berbentuk fosil-fosil tak menentu atau paling tidak hanya bagian tubuh tertentu dari binatang.
Tak kalah bahagianya oleh ayah, diriku teramat bangga padanya karena waktu itu aku sangat menyenangi memelihara reptil-reptil kecil, sehingga untuk melihat binatang sebesar itu, seorang Dylan kecil kelewat kagum. Sampai-sampai dulu aku pernah berpikir bagaimana kehidupan binatang itu pada era dinosaurus, jika aku memeliharanya, pasti sudah kujuluki sebagai The Terrible Metallic, si Metalik Mengerikan.
Hingga tibalah ayah memulai pengambilan DNA-nya dan mengkloningnya dengan gen buaya modern untuk mencoba menciptakan makhluk itu kembali. Aku masih terlalu dini kala itu, yang kutahu hanyalah ayah yang mencampurkan berbagai DNA dan serum-serum untuk menciptakan Sarcosuchus Imperator versi kecil.
Kata ayah sewaktu mengajakku ke dalam laboratoriumnya, ia akan menciptakan makhluk itu kembali, namun tidak perlu khawatir mengenai ukurannya. Ia akan merekayasanya sehingga bentuk maksimal dewasanya seperti buaya modern, sekitar lima meter. Katanya, dengan sedemikian rupa, ukuran itu merupakan maksimal normal untuk buaya modern.
KAMU SEDANG MEMBACA
Historiarum
Science FictionAntologi cerpen fiksi ilmiah karya member Scientist (1)