US

1.9K 108 39
                                    


ALEYA POV

"Nak, lo sudah siapin semua?" Halika bersandar di pintu kamar dan bertanya. Sekarang aku dan dia sedang lagi di rumah Papa dan Mama.

"Hampir selesai."

"Hati lo udah siap?" Tanya Halika lagi yang membuat aku langsung menghentikan kegiatan.

"Maksudnya?" Aku melihat dia.

Dia tersenyum miring. "Lo tau maksud gue, Nak."

Aku mengangguk dan melanjutkan kegiatanku kembali. "Harus siap, Ka."

Aku mendengar langkah kaki Halika mendekat. "Apapun itu, Al. Apapun yang lo pilih nanti untuk jalan bahagai lo. Gue, Mama sama Papa bakal jadi penyokong nomor satu lo."

"Aku tau, Ka dan aku juga bakal jadi unit penyokong itu."

"Pasti. Jadi, jangan takut anak gue. Selesain semua. Bicarakan apa yang memang harus dibicarakan. Tanya yang memang harus dipertanyakan." Halika berujar penuh dengan pengertian dan aku sudah mulai merasa sesak.

"Makasih, Ka," ujarku yang gak sanggup melihatnya.

"Ya udah. Lo mau keluar, kan? Hati-hati nyetirnya, telepon gue kalau ada apa-apa. Lo udah serahin semuanya sama, Mama?"

"Udah, waktu makan malam tadi." Halika mengangguk lalu berjalan keluar.

Aku menarik napas dalam. Ini sudah hari ke empat setelah aku pulang dari rumah sakit dan disibukan dengan segala hal yang harus diselesaikan semalam.

Ya, aku mungkin terlalu mudah bilang maaf. Aku mau ketemu kamu. Say to me if you have a time, Ya. I will not force you and whenever you are ready, i will wait.

Itu pesan dari Fasa dua hari setelah aku keluar dari rumah sakit. Aku hanya membalas dengan bilang iya ke dia. Sisanya, dia sempat meneleponku dan aku mengatakan kalo aku sedang rapat dengan tim. Terlalu sulit bagiku mencerna semua kejadian ini. Terlebih, ketika dia datang malam itu setelah sebulan ini menghilang.

Menghilang tanpa kabar.

Menghilang dengan diamnya.

Menghilang dengan segala kesimpulan yang dia buat.

Aku tetap mengirimkan kabarku ke dia setelah kejadian di apartemen. Seperti, aku yang sampai dengan selamat ke butik, atau juga mengirimkan pesan-pesan dengan menceritakan kegiatanku sehari-hari. Berharap kalo aku dan dia hanya butuh waktu untuk berpikir, dan butuh ruang untuk menyendiri. Namun, itu sungguh salah.

Waktu itu hanya membuatku untuk berpikir kalau aku gak lagi diinginkan dengan diamnya dia.

Menangkis sakitnya ketika pesan-pesan itu hanya dibaca tanpa dibalas.

Menekan diri untuk berpikir bahwa aku dan dia akan baik-baik saja. Namun, itu salah lagi.

Ruang itu pun tak kunjung menepis malah semakin lebar, hingga aku lelah dengan kebisuannya.

Ruang yang dia bangun bukan ruang yang membuatnya merasa sendiri untuk sementara. Tapi, ruang yang menyadarkanku untuk tetap mendekap sendiri tanpa harus bersusah payah untuk masuk.

Dia mau sendiri.

Dengan semua kesimpulannya.

Dengan semua rasa takutnya.

Tanpa mau mencoba.

Mencoba mencari tahu lebih dalam.

Dan malam ini, aku memutuskan untuk bertemu dengannya. Aku sudah mengirimkan pesan. Namun, belum dibaca.

NATURAL (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang