"Aku sudah melakukan semua yang Ayah inginkan," ucapan Taehyung membuat langkah sang Ayah terhenti. Dia berbalik, menatap binar redup anaknya.
"Aku selalu mengalah dalam segala hal, agar Jimin menjadi yang lebih unggul dariku. Aku juga merelakan Sahabat kecilku untuk Jimin. Aku sudah berusaha agar Jimin menjadi lebih populer dibanding diriku ketika di sekolah. Dan aku juga tidak pernah makan di meja keluarga. Masih banyak lagi permintaan Ayah yang selalu aku turuti dan aku sama sekali tidak pernah membantahnya."
"Lalu?"
"Bolehkah aku meminta sesuatu?" sejenak sang Ayah terdiam dengan sorot tajam yang ditujukan untuk Taehyung. Melihat sorot mata milik Taehyung yang sangat redup membuat hati sang Ayah sedikit luluh.
"Meminta apa? Jangan yang aneh-aneh!" katanya, terdengar ketus.
Ada kesenangan tersendiri di hati Taehyung ketika mendengar balasan sang Ayah. "Aku hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari Ayah, Ibu dan juga Hyungdeul."
"Itu saja?" pertanyaan dari sang Ayah membuat Taehyung semakin bersemangat. Seperti ada harapan.
Taehyung mengangguk. "Iya, itu saja, Ayah. Apa boleh aku mendapatkannya?" tanya Taehyung tersenyum kotak.
Sang Ayah terkekeh membuat Taehyung mengernyitkan dahinya. "Kenapa kau bertanya? Tentu saja kau boleh mendapatkannya,"
"Benarkah?" Taehyung semakin antusias.
"Dalam mimpi." sambung sang Ayah, serentak dengan hentinya kekehan.
ucapan dari sang Ayah berhasil melunturkan senyuman dan binar antusias Taehyung. Sorot matanya kembali redup, menandakan kekecewaan.
"Jangan pernah mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi, Kim Taehyung." ucapnya tajam, tatapan dingin ia berikan untuk Taehyung.
Sedangkan si empu hanya mampu menundukkan kepalanya, sedih sekaligus kecewa.
"Sampai kapanpun aku selalu mengharapkan kasih sayang dari kalian, Ayah. Sekalipun aku tahu bahwa kasih sayang itu tidak akan pernah aku dapatkan," lirih Taehyung menatap punggung sang Ayah yang sudah menjauh.
Percakapan semalam mampu membangun kesedihan Taehyung kembali. "Apakah aku begitu buruk, sampai tidak berhak mendapatkan kasih sayang dari mereka?" monolognya dengan tatapan kosong.
"Apakah aku memang sudah ditakdirkan tidak mendapatkan kasih sayang dari keluargaku sendiri?" Taehyung kembali bermonolog. "Aku benci takdirku sendiri! Mengapa Tuhan memberiku takdir seperti ini?"
Meneteskan air mata, Taehyung memilih memejamkan matanya. Dia sangat tidak menikmati takdirnya. Mengapa Tuhan tidak pernah memberinya kebahagiaan? Mengapa Tuhan selalu mengujinya? Mengapa Tuhan tidak adil padanya?
Sontak Taehyung menghapus air matanya ketika merasakan sebuah tangan menepuk bahunya, pelan. Dia menoleh, menatap sang empu yang baru saja menepuk bahunya. "Ah, Hyung, kau mengagetkanku!" katanya dengan telapak tangan kanan yang memegangi dada seolah-olah dia memang terkejut.
"Heol, kau berlebihan sekali, Taehyung." balasnya, duduk di samping Taehyung. Si empu hanya mennyengir.
"Kau habis menangis?" tanyanya dengan dahi yang mengkerut.
Sejenak Taehyung terkejut tapi dengan cepat ia mengubah ekspresinya. "Heh? Aku tidak menangis." jawab Taehyung berusaha terlihat jujur.
"Sungguh? Tapi matamu terlihat merah, seperti habis menangis."
"A-ah ini karena tercolok angin saja mungkin, hehe."
"Hah? Tercolok angin?" Seok-jin semakin mengerutkan keningnya. Dia bingung dengan ucapan adik kelas sekaligus teman baiknya ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Wrong?
FanfictionAku bahkan tidak mengerti, mengapa mereka memperlakukanku seperti ini. Mereka seperti membenciku.