1 | Change

4.4K 398 118
                                    

"Anak bodoh, cepat bangun! Apa sisa hidupmu itu hanya dipakai untuk tidur?!"

Tok tok tok

"Cepat buka pintunya!"

"Pah, gak perlu sampai begitu. Kan udah kubilang, biar Hyunjin yang menjadi urusanku kalau papa keberatan mengurusnya." Minho datang dan menghalangi pintu masuk agar tidak diketuk lagi oleh pria yang lebih tua darinya.

"Ya, dia memang bisanya hanya menyusahkan kita. Kemarin dia buat ulah saat wawancara, nanti apalagi?"

"Jaga ucapan, Papa! Papa gak pantes ngomong kayak gitu! Hyunjin itu anak Papa juga! Dia cuma lupa pake krim penyamar luka, dan lupa itu manusiawi kok."

Si pria paruh baya mengeraskan rahangnya. "Hidup memang ringan kalau hanya bicara. Sekarang gimana kalo popularitas kita hancur? Belum lagi kasus ibu kamu yang masih belum jelas."

"Ya hadapin. Emangnya keadaan berubah kalo Papa ngomel-ngomel kayak gini? Selidikin pembunuhnya, cari tahu kronologisnya."

"Minho, masalah kita udah banyak, dan si sialan itu menambahkannya, bagaimana Papa tidak marah?!"

Di dalam kamar, pelan-pelan Hyunjin membuka matanya dan menutup mulutnya yang menguap. Sedikit memperjelas netranya yang memburam, serta meregangkan otot-ototnya juga. Namun, suara keributan yang terjadi di depan kamarnya mengharuskannya untuk menyumbat kedua telinganya.

Ia kenal dengan suara itu. Itu adalah suara yang sama, suara yang setiap pagi tak pernah absen dari kupingnya. Ayahnya yang selalu membencinya, sedangkan Minho--kakak laki-lakinya yang selalu membela dirinya. Perbedaan itu membuat mereka tak henti berdebat, padahal Hyunjin sama sekali tidak menyukainya.

"Aku bersalah karena udah buat mereka berdebat." Hyunjin melepas hembusan berat. Ia turun dari ranjangnya dan membuka pintu. Lantas, tatapan tajam ayahnya lah yang pertama kali ia lihat.

Hyunjin dengan spontan menunduk takut. "Ma-maaf, aku janji gak akan bangun terlambat lagi." ucapnya gemetar.

Baru ingin menyeret Hyunjin, Minho sudah keburu menghalangi pemuda itu dari pria berumur kepala tiga bernama Lee Jinhyun. Ia memasang badan, dan membiarkan Hyunjin bersembunyi di belakangnya.

"Mau apa, Pah? Mending sekarang
Papah ke kantor deh, jangan karena ngomelin Hyunjin, waktu Papa yang katanya berharga itu terbuang," ketus Minho dengan tatapan sengit.

Mendengar itu, Jinhyun menajamkan pandangannya. Bukan ke arah Minho, tapi ke arah Hyunjin. Entah kenapa rasa bencinya semakin menjadi setiap kali melihat anak itu.

Merasa tak ada lagi celah untuk menyakiti Hyunjin, akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari sana. Bau harum semerbak khas Jinhyun menyeruak di penciuman ketika pria itu berlalu, sementara Minho yang merasa keadaan sudah aman segera mengalihkan atensinya pada adik kesayangannya itu.

"Udah aman, sekarang siap-siap sana ke Sekolah. Jangan buru-buru, aku gak mau kamu luka."

Hyunjin selalu merasa tenang dengan kata-kata Minho yang lembut, sehingga ia mau menurut dan keluar dari persembunyiannya.

Sejurus kemudian, tepatnya setelah Hyunjin selesai bersiap-siap, Minho berlari dengan raut cemas ketika melihat Hyunjin berlari menuruni tangga.

"Hyunjin, berhenti di sana!" pekik Minho sambil berlari ke arah adiknya. Hyunjin yang mendengar seketika langsung diam di tempat.

"Kamu gimana sih?! Udah kubilang jangan buru-buru. Telat atau enggaknya biar jadi urusan belakangan, yang penting kamu baik-baik aja. Jujur deh, sekarang sendi-sendi di kakimu sakit semua, 'kan?"

Different ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang